Tinta Media - Terkait perpanjangan masa jabatan presiden, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki S.H., M.Hum. menyatakan, mengacu pada UUD 1945 maka ikuti konstitusi atau ubah negara menjadi negara otokrasi atau sistem kekhilafahan.
“Kembali ke persoalan perpanjangan masa jabatan presiden, mestinya kita tetap mengacu pada UUD 1945, kalau kita patuh pada konstitusi. Ikuti konstitusi yang sudah ada. Kalau tidak mau dibatasi masa jabatan ya ubah negara menjadi negara otokrasi atau mungkin sistem kekhilafahan,” tuturnya dalam segmen Tanya Profesor: Hipokritnya Pernyataan Jokowi Soal Wacana Penundaan Pemilu, Ahad (6/3/2022) di kanal Youtube Prof. Suteki.
Ia mengatakan, jika patuh terhadap konstitusi maka tidak perlu diubah-ubah sesuai dengan kemauan politik. “Kita harus mengetahui perbedaan antara politisi dan negarawan. Kalau politisi orientasinya pada lima tahunan tapi (kalau) negarawan visi kita, maka masa jabatan dibatasi, supaya tidak terjadi penumpukan pengaruh sampai kemudian ada otoritarianism, kekuasaan yang absolut, otoriter dan diktator,” ujarnya.
Menurutnya, jika ingin terhindar dari kekuasaan tersebut maka harus konsisten dengan prinsip demokrasi yang diambil. Apabila tidak ingin dibatasi masa jabatannya maka harus mengubah negara menjadi otokrasi yang dikenal dengan istilah monarki atau sistem kekhilafahan yang tidak terbatas masa jabatannya.
“Kalau kerajaan tidak ada, sampai mati karena raja. Tapi kalau kekhalifahan sampai mati juga ketika misalnya seorang khalifah itu tidak melakukan pelanggaran atau menentang hukum Allah dan Rasul atau sumber hukum yang lainnya,” ujarnya.
Ia mengatakan, jika ingin menjabat selamanya bisa memilih antara otokrasi dengan kerajaan atau sistem kekhilafahan. “Ini kalau mau selama-lamanya, maksudnya sampai seumur hidup, ya pakai dua itu, otokrasi dengan kerajaan atau sistem kekhilafahan,” tegasnya.
Prof. Suteki mengungkapkan, Pancasila tidak mengatur masa jabatan. Soal pemerintahan jelas berdasarkan pada sila ke-4 Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. “Kuncinya ada di MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Sekarang sudah diubah untuk pengangkatan presiden pemilihannya oleh rakyat langsung dengan pemilihan langsung sehingga dalam hal ini kekuasaan MPR itu tidak seperti yang dahulu di UUD 1945 yang asli. Itu jelas kekuasaan MPR menentukan sampai kemudian melakukan sidang istimewa kalau presiden itu melanggar,” ungkapnya.
Menurutnya, kondisi sekarang tidak bisa dilakukan. Pemecatan presiden saat ini harus melalui jalur politik DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), jalur hukum di MK (Mahkamah Konstitusi), kemudian masuk kembali ke jalur politik di MPR. Prosesnya panjang dan berat.
“Itu panjang dan berat. Untuk melakukan impeachment itu seperti kita memasukkan unta ke lubang jarum,” katanya.
Ia mengatakan, kondisi sekarang tidak mungkin dilakukan impeachment karena melewati koalisi besar. Contoh UU Cipta Kerja dan termasuk IKN itu 8 fraksi melawan 1 fraksi. “Jadi aman. Tidak akan ada impeachment. Tidak usah khawatir dengan persoalan impeachment itu. Saya yakin tidak ada,” pungkasnya. [] Ageng Kartika