Tinta Media - Pernikahan Muslimah dengan nonmuslim dinilai Wakil Sekjen MIUMI Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia Ustaz Fahmi Salim Zubair, Lc., M.A. sebagai desain kelompok liberal untuk melegalkan perkawinan beda agama.
“Pernikahan muslimah dengan laki-laki non muslim ini ada semacam desain untuk melegalkan perkawinan beda agama itu,” tuturnya dalam Program Fokus Live Streaming: Nikah Beda Agama dan Fenomena Kemusyrikan, Ahad (27/3/2022) di kanal Youtube UIY Official.
Menurutnya, kelompok liberal itu sudah beberapa kali mengajukan judicial review ke MK untuk mengganti materi-materi yang ada di dalam UU No 1 Tentang Perkawinan Tahun 1974.
“Tahun 1973 saat itu rezim orde baru mengajukan draf rancangan undang-undang tentang perkawinan itu di pasal 10 atau 6 itu yang artinya menyatakan bahwa perbedaan agama, perbedaan keyakinan itu, ketika seseorang lakukan proses pernikahan itu sah, dianggap sah oleh negara ini, ini bertentangan dengan hukum Islam,“ paparnya.
Ia mengingatkan agar jangan membolak-balikkan konteks perkawinan beda agama. Karena hubungan seksual dalam keluarga yang beda agama itu kembali kepada hukum asalnya yaitu haram kecuali yang dihalalkan. Dalam konteks ini yang dihalalkan hanya satu yaitu QS Al Maidah ayat 5, laki-laki muslim diberikan izin, didispensasi untuk menikahi wanita ahlul kitab.
“Hanya itu saja yang diberi dispensasi halal selainnya tetap haram. Bicara konteks perkawinan beda agama, apakah laki-laki muslim dengan wanita musyrikah atau wanita musyrik atau perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim baik itu ahlul kitab atau pun laki-laki musyrik, ini tetap haram jangan dibolak-balikkan,” ungkapnya.
Ia melanjutkan bagaimana orang-orang liberalisme menyesatkan dengan satu dalil dari QS Al Maidah ayat 5 untuk menghalalkan semua bentuk perkawinan beda agama.
“ Orang-orang liberalisme dengan satu dalil Al Maidah ayat 5 yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab lalu dibawa untuk menghalalkan semua bentuk perkawinan beda agama, itu jelas keliru. Itu jelas sesat menyesatkan, tidak sesuai dengan kaidah Al-Qur’an, tidak sesuai dengan hadis-hadis Nabi SAW atau praktik para sahabat atau salafus soleh,” lanjutnya.
Ia mengatakan, mayoritas Indonesia adalah umat Islam dan undang-undang bukan sekedar muamalah, aksi sosial semata tapi harus sesuai dengan hukum Islam. Penolakan keras terhadap pernikahan beda agama berkaitan dengan akad pernikahan.
“Kenapa umat Islam, para ulama, ormas Islam saat itu keras menolak? Karena ini berkaitan dengan akad pernikahan,” katanya.
Ia pun menegaskan akad pernikahan itu tidak boleh terjadi kecuali dengan izin syar’i, ada nashnya dari Al-Qur’an dan Sunnah. Karena asal hubungan seksual itu adalah haram kecuali ada dalil yang membolehkannya atau menghalalkannya.
“Hukum asal hubungan seksual suami istri, laki-laki dan perempuan itu adalah haram, tidak boleh terjadi kecuali ada dalil yang membolehkannya. Maka dari itu, Al-Qur’an bicara pernikahan itu selalu diawali dengan perintah dari Allah SWT artinya menunjukkan kebolehan atau kehalalan,” tegasnya.
Menurutnya, Allah SWT telah memberi perintah di dalam Al-Qur’an itu bahwa kebolehan atau kehalalan pernikahan itu berlaku untuk yang seagama, seiman, dan seakidah yaitu Islam.
“Perintah-perintah itu yang ada dalam Al-Qur’an itu berlaku untuk yang seagama, yang seiman, seakidah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika