Tinta Media - Tepat pada tanggal 20 Februari 2022 telah diperingati Hari Keadilan Sosial Sedunia (Social Justice Equality Day). Peringatan tersebut telah berlangsung sejak tahun 2009 melalui persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 November 2007.
Hari Keadilan Sosial Sedunia merupakan hari internasional yang mengakui perlunya mempromosikan keadilan sosial, yang mencakup upaya untuk mengatasi masalah seperti kemiskinan, pengucilan, ketidaksetaraan gender, pengangguran, hak asasi manusia dan perlindungan sosial.
PBB melalui Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO), membuat pernyataan tentang pentingnya keadilan sosial bagi masyarakat. Deklarasi tersebut menyeru adanya jaminan pekerjaan yang layak, perlindungan sosial, dan hak-hak dasar bekerja guna mencapai hasil yang baik dan adil untuk seluruh pekerja buruh.
Dibentuknya Hari Keadilan Sosial Sedunia sekaligus menyadarkan seluruh pihak bahwa pembangunan dan keadilan sosial tidak bisa dicapai tanpa adanya perdamaian dan keamanan. Pada tahun 2030, diharapkan pekerja di sektor informal dapat bertransisi dan terwujud kesetaraan gender (Detik, 17/02/2022).
Lantas, apakah misi keadilan sosial akan terwujud seadil-adilnya?
Ketika membuka lembaran sejarah, konsep keadilan sosial (social justice) dilatarbelakangi dari perpaduan kapitalisme dan sosialisme.
Ketika krisis dunia terjadi, sekitar tahun 1930, Barat yang notabene sebagai pengemban kapitalisme bersifat individualistik dan eksploitatif.
Barat mendominasi dunia dengan hard power (penjajahan fisik), hingga mereka berhasil meraih kedudukan. Namun, kenyataannya mereka dihadapkan pada masalah baru berupa kegagalan dalam pemerataan ekonomi. Hal ini lantas mendorong Barat berubah haluan untuk menjiplak konsep sosialisme demi pemerataan ekonomi.
Pada prinsipnya, keadilan sosial dalam kacamata kapitalisme diwujudkan dengan cara memberikan bantuan subsidi kepada kalangan bawah (warga miskin) agar tetap survive dalam kehidupan. Namun, semua ini hanyalah tambal sulam dari kesalahan penerapan sistem ekonomi kapitalistik. Hingga timbul ketimpangan sosial dan jurang pemisah antara konglomerat dengan rakyat jelata.
Salah satu penyebabnya ialah adanya kebebasan kepemilikan atau legalitas privatisasi. Kekayaan alam yang sejatinya bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat, nyatanya hanya dikuasi oleh segelintir elit korporasi. Pada akhirnya, bantuan kecil hanya terasa sesaat, sementara masih banyak kebutuhan pokok yang sulit terpenuhi dan pelayanan publik dengan berbagai keribetan birokrasi atau administrasi. Progam pemerataan pun selamanya hanya ilusi.
Ironisnya, ternyata Konsep ini pula yang dijalankan Indonesia dalam sekup keadilan sosial sesuai poin kelima pancasila. Langkah yang ditempuh juga selaras dengan arah pandang kebijakan lembaga internasional dalam mewujudkan keadilan sosial, seperti pemberian subsidi dan jaminan sosial.
Akan tetapi, lagi-lagi semua hanya ilusi. Benturan antar kebijakan menjadi hal yang lumrah terjadi. Coba tengok kondisi saat ini, rakyat harus antre panjang demi mendapat subsidi minyak goreng atau bantuan sosial lainnya. Sementara, kartel minyak bebas menimbun hingga korporasi bebas memonopoli.
Belum lagi ricuh pekerja buruh yang menuntut keadilan setiap saat atas aturan yang tidak tepat. Seperti pengesahan UU Cipta Kerja yang membuka kran eksploitasi, kebijakan Jaminan Hari Tua (JHT) yang diundur hingga usia 56 tahun, standarisasi upah yang minim, jaminan kehilangan pekerjaan yang dinanti kepastiannya, dll. Semua memicu buruh kerja turun jalan.
Telah jelas bahwa konsep keadilan sosial kapitalisme nihil mewujudkan keadilan seadil-adilnya bagi masyarakat. Ini karena semua lahir dari akal pemikiran manusia yang terbatas. Padahal, manusia butuh bersandar pada Al-Khaliq (pencipta alam semesta) sekaligus Al-Mudabbir (maha mengatur), yakni Allah Swt. yang menurunkan pedoman hidup. Allah Swt. telah menetapkan sistem Islam sebagai pedoman yang sempurna dan menyeluruh, mengatur setiap aspek kehidupan.
Adapun konsep keadilan sosial dalam Islam dikembalikan pada syariat. Islam memandang bahwa setiap individu memiliki hak yang sama dalam pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, papan, pangan) dan kebutuhan kolektif (pendidikan, kesehatan, keamanan). Baik miskin maupun kaya, semua mendapat jaminan yang sama. Hal ini dipahami sebagai kewajiban negara dalam mengurusi rakyatnya dengan baik sesuai syariat Islam.
Disisi lain, Islam mengatur bab kepemilikan secara rinci, mulai dari kepemilikian individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Islam melarang tegas adanya privatisasi atas kepemilikan umum. Ada juga hukum-hukum lainnya dalam bermuamalah, interaksi sosial, rincian hak dan kewajiban laki-laki maupun perempuan, hingga sistem poitik dalam dan luar negeri. Inilah sistem yang seharusnya diterapkan di dunia untuk mewujudkan keadilan yang seadil-adilnya.
Wallahu'alam bishawab.
Oleh: Mimin Nur Handayani
Sahabat Tinta Media