Tinta Media - Vonis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang melepas dua polisi penembak laskar F*P*1 (Front*Pembela*1slam) di Tol Cikampek KM 50, dengan alasan perbuatan terdakwa sebagai upaya membela diri, dikatakan Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H.,M.H. bahwa ada syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan pembelaan darurat.
“Bahwa pembelaan darurat yang melampaui batas atau noodweer excess dapat dilakukan dengan syarat memenuhi unsur yaitu harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga,” tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (19/3/2022).
Menurutnya, jika tidak memenuhi unsur itu, tidak dapat dilakukan pembelaan darurat yang melampaui batas. “Contoh, seorang pembegal sedang membegal untuk mengambil barang seorang aparat polisi misalnya, kemudian si pembegal menyerang polisi tersebut dengan pisau belati. Di sini polisi itu boleh melawan untuk mempertahankan diri, sebab si pembegal telah menyerang dengan melawan hak. Selanjutnya, serangan itu harus sekonyong-konyong atau mengancam ketika itu juga, maka boleh menembak,” terangnya.
“Tapi, jika si pembegal itu dan barangnya itu telah tertangkap, maka polisi tersebut tidak boleh membela diri secara darurat yang melampaui batas dengan memukuli, menganiaya, menyiksa dan menembak mati karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pembegal, baik terhadap barang maupun orangnya,” tambahnya.
Chandra mengatakan, apabila santri pengawal Habib tersebut telah ditangkap dan teriak minta ampun, terlebih lagi misalnya santri pengawal tersebut tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas misalnya sebagai contoh dengan menganiaya dan menembak.
“Kenapa? Karena unsur atau syarat serangan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga tidak terpenuhi, sehingga mestinya mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law),” terangnya.
“Apabila unsur-unsur sebagaimana yang saya jelaskan diatas tidak terpenuhi, lalu dijadikan pertimbangan untuk melepaskan terdakwa, maka telah menciderai rasa keadilan masyarakat,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun