Pemerintah Akan Naikkan Harga Pertamax, HILMI: Ini Watak Ekonomi Kapitalis - Tinta Media

Senin, 28 Maret 2022

Pemerintah Akan Naikkan Harga Pertamax, HILMI: Ini Watak Ekonomi Kapitalis

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1VZzrBOBMEfQp-nOKOjKig-5xE3IeB5it

Tinta Media - Rencana pemerintah yang akan menaikkan harga Pertamax karena naiknya harga minyak dunia dinilai Ketua Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. sebagai watak dari ekonomi kapitalis.

“Inilah salah satu watak konteks ekonomi kapitalis," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (27/3/2022).

Menurutnya, beberapa waktu yang lalu, sebelum ada kenaikan harga minyak dunia, harga minyak juga mengalami penurunan. "Kita tahu bersama sebelum adanya perang Ukraina dan Rusia, sampai pada titik terendah harga minyak itu, sangat-sangat rendah. Tetapi, apa yang dilakukan oleh pemerintah  justru tidak menurunkan harga pertamax,” ujarnya.

Ia melihat, harga pertamax tetap di angka 9000, 9000-an, 9000 sampai 9.500. “Padahal kalau kita mengacu pada asumsi supply and demand, harusnya ketika harga minyak turun. Pertamina dalam konteks ini pemerintah, harusnya menurunkan harga minyak, juga pertamax. Tapi kan faktanya, justru tidak menurunkan," ungkapnya.

Julian menilai suatu ironi, ketika harga minyak hari ini mengalami kenaikan, pemerintah malah justru dengan cepat menggulirkan isu kenaikan atau penyesuaian harga.

Kedaulatan Energi

Julian mengatakan, pemerintah harus mewujudkan kedaulatan energi jika ingin mandiri. “Salah satu kedaulatan energi itu adalah kalau kita melihat fakta Indonesia itu, sebetulnya bisa saja memiliki potensi kandungan energi yang cukup besar. Hanya saja, masalahnya, hari ini kilang-kilang, banyak yang lapuk, banyak yang lama,” ungkapnya.

Ia mengingatkan, seharusnya negara itu mendorong untuk membuka kilang-kilang baru, mengeksplor kilang-kilang baru sehingga ditemukan cadangan energi yang bisa menambah produksi dari minyak energi di tanah air. "Karena kan kalau faktanya, kita hari ini justru yang ada adalah masih kurangnya memproduksi, atau mengeksplor minyak yang baru, ini jadi problem," imbuhnya.

Julian juga menilai, yang menjadi problem saat ini adalah ketika sebagian besar energi itu diimpor. "Nah, ini yang jadi problem, ketika memang faktanya, hari ini BBM, energi kita itu, sebagian besar, kita mengimpor," ucapnya.

Menurutnya, jika tidak mengimpor BBM, minimal bisa memberikan kedaulatan energi, sehingga tidak ketergantungan terhadap harga pasar. “Ini yang memang harus diwujudkan sehingga kedaulatan energi  itu bisa diwujudkan dengan cara memproduksi minyak atau energi yang banyak, kemudian itu digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Jadi digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu," ujarnya.

“Jika ada sisa, maka sisa ini yang kemudian diekspor, ini kan jangan sampai seperti asumsi minyak sawit, minyak kelapa, ya. Dalam negeri belum tercukupi, sudah main diekspor akhirnya kan terjadi kelangkaan. Nah ini asumsinya sangat keliru,” tandasnya.

Julian mengatakan, kalau mengacu pada perspektif Islam, minyak atau BBM atau energi ini termasuk ke dalam kepemilikan umum, yang sifatnya itu barang-barang pokok yang masyarakat pasti ketergantungan terhadapnya.

"Dalam perspektif islam, negara itu harus hadir. Negara itu hadir, bukan hanya sebagai wasit atau penonton yang menengahi, menjembatani, negara itu harus hadir," tegasnya.

Misalkan, karena ini kepemilikan umum, kata Julian, maka negara bisa sebetulnya itu mematok harga. “Nah, mematok harganya itu tentu adalah harga-harga yang bisa istilahnya itu kejangkau oleh masyarakat," pungkasnya.[]'Aziimatul Azka

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :