Tinta Media - Konflik yang terjadi di Papua seakan tidak pernah reda. Puluhan korban, baik dari TNI atau rakyat sipil terus bertambah. Teror yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terus terjadi di Papua.
Belum lama ini, kekerasan dengan korban jiwa kembali lagi terjadi di Papua. Delapan orang dinyatakan tewas pada Rabu, (2/3/2022). Mereka adalah pekerja tower Palapa Timur Telematika (PTT), yang diserang Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Penyerangan tersebut, baru diketahui pada Kamis (3/3), ketika seorang pekerja yang selamat melaporkan peristiwa ini (Republika co.id 7/3).
Bukan hanya menyerang pekerja tower saja, sehari setelahnya KKB kembali menyerang petugas Pos Koramil Sambat yang sedang berpatroli. Sehingga menyebabkan seorang prajurit TNI mengalami luka tembak di bagian lehernya (Kompas, 5/3/22).
Banyak pihak yang mengecam insiden tersebut dan meminta agar ditindak tegas karena tindakan kekerasan yang dilakukan KKB jelas merupakan pelanggaran HAM, sebagaimana sikap dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang mendesak pemerintah untuk segera menetapkan kekerasan di Papua sebagai tindak pidana terorisme. Alasannya, karena tindakan tersebut menimbulkan ketakutan dan mengganggu keamanan masyarakat (SindoNews 5/3).
Tidak Cukup Hanya Dialog
Konflik bersenjata si Papua, sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya sudah terjadi berbagai macam konflik yang menegaskan betapa karut-marutnya kondisi Papua.
Perjalanan konflik yang terjadi ini menegaskan bahwa atmosfir politik di Papua sangat sensitif. Banyak tindak kekerasan yang terpantik dan menjadikan konflik yang menelan korban jiwa.
Karena itu, masalah ini perlu segera diatasi, tidak boleh hanya mengandalkan dialog dan komunikasi antara semua pemangku kepentingan dan kelompok kriminal bersenjata. Terbukti, seberapa banyak dialog dilakukan, korban terus bertambah.
Karena tidak ada ketegasan dan hukum yang jelas terhadap kejahatan yang dilakukan oleh KKB, maka hal ini memicu aksi kekerasan dan teror yang terus menerus. Bahkan, KKB juga menggulirkan tuntutan referendum hingga permintaan diplomasi yang melibatkan pihak luar negeri.
Banyak pihak mendesak pemerintah bersikap tegas untuk menangani kerusuhan yang terjadi di Papua. Namun, langkah yang diambil pemerintah tidak menyentuh akar permasalahan, bahkan terkesan memasrahkan penyelesaian kekerasan di Papua kepada polisi dan tentara.
Perlu Kekuatan Peran Penguasa
Faktor lainnya yang menjadikan konflik berkepanjangan adalah, pemerintah tidak pernah mampu melepaskan cengkeraman dominasi kekuatan asing di bumi Cendrawasih.
Asing jelas mengincar Papua karena nilai jualnya. Geostrategis Papua diapit oleh dua samudra besar, yakni Pasifik dan Hindia, serta dua benua, yakni Australia dan Asia. Posisi silang ini lebih dikenal dengan posisi silang maut, sebuah posisi yang strategis dan bisa menghasilkan potensi kejayaan bagi Indonesia. Inilah yang menjadikan Papua sebagai incaran banyak kepentingan, terutama bagi asing yang ingin menguasainya.
Banyak negara yang berkepentingan besar ingin menguasai Papua. Di antaranya, Amerika, Australia, bahkan Cina yang mempunyai kepentingan terhadap sumber daya alam di Papua. Hal inilah sejatinya yang menyebabkan Papua menjadi wilayah rawan konflik. Intervensi asing sangat mendominasi dalam mencapai sebuah kesepakatan perundingan.
Pergantian penguasa yang terjadi nyatanya tidak ada yang mampu menuntaskan dan menyelesaikan masalah di Papua. Bahkan, hingga saat ini belum ada rancangan solusi yang mampu menentukan masalah mendasar di Papua.
Pemerintah yang hidup dalam ideologi kapitalis hanya mampu mengukur pencapaian materialistis.
Rezim terdahulu telah sukses menjadikan Papua dijajah korporasi raksasa. Freeport hadir sebagai penanaman modal asing di Papua untuk mengeruk tambang emas terbesar di Indonesia.
Visi materialistis tersebut tidak pernah berubah hingga saat ini. Pemerintah pun memilih cara-cara yang lebih memperhatikan pendekatan kesejahteraan. Yang dimaksud kesejahteraan ini adalah ukuran-ukuran angka ekonomi. Pemerintah akan lebih memfokuskan pada pembiayaan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat.
Padahal, konflik ini terjadi bukan hanya dari faktor ekonomi saja, tetapi juga terjadinya kesenjangan akibat tidak meratanya kesejahteraan, sepanjang Papua berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Karena itu, perlu solusi sistemik untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya integrasi, menghapus ketidakadilan ekonomi, mencegah intervensi asing dan perlu bertindak tegas memberantas kelompok separatis.
Tidak ada yang berharap kekerasan dan konflik terus terjadi di Bumi Cendrawasih. Berbagai skema pembangunan juga tidak pernah menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan orang Papua. Bahkan, pembangunan infrastruktur hanya bermanfaat bagi para pemodal yang ingin mendapatkan akses-akses ke sumber-sumber ekonomi Papua.
Karena itu, yang paling utama diperlukan adalah kemandirian dan kedaulatan untuk melakukan keputusan strategis bagi Papua, menghilangkan campur tangan dan intervensi negara-negara asing. Negara harus mampu menuntaskan problem aneksasi negara besar plus korporasinya.
Negara harus mampu menyatukan semua anak bangsa dalam ikatan yang sama supaya Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya menjadi slogan yang tidak mampu meleburkan semua perbedaan yang ada.
Karena itu, perlu sebuah supremasi pemerintahan yang menyatukan dan berfungsi sebagai ri’ayatus su’unil ummah (penjamin kebutuhan dan kesejahteraan umat), sebuah pemerintahan yang melekatkan perbedaan secara bermartabat sekaligus menunjukkan haibah (kewibawaan) sebagai negara yang berdaulat.
Selain itu, perlu sebuah sistem yang mampu menyelesaikan gangguan dan ancaman dengan strategi jitu yang terukur dan terarah. Kita perlu sebuah sistem pemerintahan yang mampu mengatur politik luar negeri ataupun pengaturan urusan rakyat dalam negeri dengan sebuah tatanan yang berdasarkan kepada aturan dari Zat Yang Mahakuasa. Sistem pemerintahan tersebut, hanya akan bisa terlaksana jika semua umat Islam di negeri ini menginginkannya.
Kita perlu sebuah sistem yang bisa memberi solusi atas segala permasalahan umat manusia, baik muslim atau nonmuslim, yakni sistem pemerintahan yang berdasarkan kepada syariat Islam kaffah dalam bingkai daulah yang berdasarkan pada aturan Allah Swt. sehingga akan mendatangkan keridaan Allah Swt. berupa rahmat ke seluruh alam. Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya:
“Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.” (TQS. Al Anbiya:107).
Wallahu’ alam bishawab
Oleh: Isty Da’iyah
Sahabat Tinta Media