Tinta Media - Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menyatakan, peristiwa mural 404 not found menggambarkan kritik sosial masyarakat.
“Saya mencermati peristiwa mural itu berkaitan dengan kritik sosial yang terjadi di masyarakat,” tuturnya dalam segmen Live: Di mana Pancasila? Kamis (3/3/2022) di kanal Youtube Prof. Suteki.
Ia mengatakan, peristiwa mural yang ditulis di Batu Ceper Tangerang dengan gambar mirip dengan Presiden Jokowi dan ditulis 404 not found yang berarti tidak ditemukan atau sulit ditemukan atau sulit untuk dilacak keberadaannya bahkan tidak ditemukan, hal ini sebagai bentuk menuangkan gagasan atau ekspresi kegalauan dari rakyat.
“Saya kira masyarakat atau rakyat ketika menuangkan gagasannya atau mengekspresikan kegalauannya itu terasa sekali. Bagaimana nuansa hati? Kegalauan itu terasa sekali. Ada dugaan rakyat itu merasa putus asa,” ungkapnya.
“Ditambah mural dari Bangil Pasuruan dipaksa sehat di negara yang sakit, dan yang cukup viral Tuhan aku lapar,” imbuhnya.
Menurutnya, hal ini menggambarkan bagaimana rakyat itu merasa putus asa untuk menyampaikan aspirasinya melalui saluran resmi maka menulis mural itu. Saluran resmi itu melalui wakil-wakilnya si dewan legislatif juga termasuk pemimpin-pemimpin daerah maupun pusat. Di mana aspirasinya tidak didengar.
“Kalaupun didengar tapi tidak dipahami. Kalaupun dipahami tetapi tidak ditindaklanjuti. Ini akan menjadi masalah besar, akhirnya rakyat memilih slogan go-jek ‘selalu ada jalan’. Jalan itu ya lukisan di dinding atau kita sebut mural,” katanya.
Ia pun menjelaskan bagaimana liberal kapitalisnya ekonomi yang dihukum oleh hukum yang liberal sifatnya kapitalistik menghasilkan KUHP, UU Cipta Kerja, Harga PCR yang mencekik (dikatakan tidak mahal dibandingkan dengan negara lain). “Selain itu kita menyaksikan betapa represif dan diktatornya suatu sistem pemerintahan ‘terkesan ala komunis’ terutama dalam penegakan hukum. Seolah-olah negara ini bukan negara demokrasi, misalnya tentang penangkapan aktivis demokrasi, aktivis agama, ulama, ada tokoh masyarakat, dan ada extra judicial killing,” terangnya.
“Sebenarnya hal-hal semacam ini bisa kita lakukan, bisa kita selesaikan dengan cara restorative justice, misalnya. Maka dari sisi liberalis kapitalistik maupun sosial komunistik kita bisa bertanya Pancasila itu ada di mana?” ujarnya.
Menangkap makna mural 404 not found, beliau mengatakan bahwa di negara welvaarstaat itu dikenal negara itu sebagai bapak yang pemurah dengan istilah lima pilar. Negara sebagai bapak harus hadir ketika rakyatnya menderita atau mengalami penderitaan-penderitaan.
“Jadi negara selalu hadir, berempati, bersimpati terhadap segala penderitaan rakyat, dalam hal ini masalah pandemi yang melanda. Dilihat dari pesan moral dari mural tadi seolah-olah presiden dan punggawanya itu sering berteriak dalam penanganan pandemi itu dengan menggunakan dalil solus populi supreme lex esto, keselamatan rakyat itu adalah hukum yang tertinggi. Apakah betul itu yang digunakan demikian?” ungkapnya.
Ia pun memaparkan fakta-fakta yang ada di lapangan terkesan negara itu memimpin tidak adil. Dalam hal ini, rakyat merasa bukan itu yang dipraktikkan dan dijalankan oleh presiden dan para punggawa. Karena sebagian rakyat menilai bahwa justru keselamatan rezim atau status quo itu adalah hukum yang tertinggi. Terlihat dari sejak awal penanganan pandemi penuh dengan kebimbangan, kontradiktif, kontroversi, dan banyak lainnya.
“Artinya kalau kita lihat itu memang seolah terkesan pemimpin itu tidak adil. Itu yang dirasakan kalau saya menilai mural yang tadi dikatakan bahwa 404 not found itu,” pungkasnya. [] Ageng Kartika