Tinta Media - Minyak goreng curah itu adalah barang subsidi. Dalam seluruh kasus barang subsidi masalah terbesar adalah dana subsidinya tidak cair atau kurang dari kebutuhan. Mengapa? Bisa jadi karena pemerintah sudah tidak ada uang untuk subsidi subsidi minyak goreng. Menyerah!
Tapi dalam kasus minyak goreng dana subsidi tidak mungkin habis. Karena dana subsidi minyak goreng dikelola secara terpisah. Jadi dana subsidi minyak goreng seharusnya tetap ada. Kecuali kalau dana ini dipinjam atau dihabiskan oleh menteri Keuangan untuk keperluan lain.
Sebagaimana diketahui bahwa dana subsidi minyak goreng diperoleh dari hasil pungutan ekspor CPO. Pungutan ekspor ini dilakukan oleh badan pemungut bea keluar ekspor. Pungutan ini besarannya ditetapkan oleh menteri keuangan. Besaran pungutan berdasarkan harga patokan yang ditetaokan oleh menteri perdagangan. Lalu hasil pungutan digunakan untuk menstabilkan harga minyak goreng dan harga CPO dalam negeri.
Siapa pengguna dana subsidi ini, tidak lain adalah pengusaha minyak goreng, pengusaha CPO dan pengusaha biodiesel. Jaid subsidi ini dari sawit oleh sawit dan untuk sawit. Jadi berapa pun harga sawit pengusaha tetap untung dengan menjual CPO di dalam negeri.
Berapa nilai pungutan CPO yang diperoleh oleh badan pemungut tiap tahun? Nilainya bisa mencapai 75-100 triliun. Bergantung pada harga CPO global, besaran pungutan dan harga patokan yang dibuat oleh pemerintah. Semua konon ditetapkan secara berimbang. Makin tinggi harga CPO makin besar perolehan pungutan. Jadi tidak mungkin dana subsidi ini kurang dari kebutuhan. Kecuali menteri keuangan dan Menteri perdangan keliru menghitung dan menetapkan formulanya. Atau sengaja berbuat keliru untuk kepentingan tertentu.
Nah persoalannya sekarang mengapa minyak goreng bisa langka? Besar kemungkinan karena dana subsidinya tidak mengalir. Mengapa tidak mengalir? karena tidak ada uangnya. Mengapa tidak ada uangnya? Bisa jadi karena dana ini digunakan untuk keperluan lain.
Maka skenario kelangkaan minyak goreng berubah menjadi skenario menaikkan harga minyak goreng. Menteri perdagangan yang telah mengambil pilihan menumpahkan beban tidak adanya uang subsidi menjadi beban rakyat dengan kenaikan harga minyak goreng. Tidak tanggung tanggung menteri perdagangan menetapkan kenaikan harga minyak goreng curah menjadi 14 ribu rupiah per liter atau 15 ribu rupiah per kilogram minyak goreng. Naik dari 11 ribu rupiah. Cuan mantap.
Lagi lagi rakyat yang jadi korban akibat uang subsidi menguap. Harga minyak goreng curah naik 27,5 persen. Rakyat harus menyerah membeli minyak goreng mahal ditengah resesi. Belum lagi dihadapkan dengan masalah kelangkaan karena ulah para spekulan. Penegak hukum mati kutu tak punya kemampuan menindak para spekulan. Walaupun isuenya sudah beredar luas.
*_Kalau begini caranya kalian menggunakan momentum kelangkaan minyak goreng untuk menaikkan harga eceran tertinggi minyak goreng, maka rakyat bisa menuduh kalian pemerintah dan pengusaha yang mendesain huru hara ini. Jangan begitu dong!_*
Seharusnya menteri perdagangan menuntut kepada menteri keuangan untuk membayar subsidi minyak goreng. Menteri perdagangan M Lutfi mendesak pengakuan Sri Mulyani kemana uang subsidi minyak goreng. Kalau memang masih ada maka segeralah dicairkan. Kalau memang sudah tidak ada maka mengakulah. Selanjutnya setelah itu menteri perdagangan bisa mengundurkan diri dengan tenang karena gagal mengelola tata niaga minyak goreng yang layak dan terjangkau oleh rakyat yang tengah menderita akibat krisis. Jentelmen! Begitu sinuhun.
Oleh: Salamuddin Daeng
Pengamat Ekonomi Politik