Tinta Media - Setelah wacana perpanjang masa jabatan sampai tiga periode, kini muncul usulan memundurkan jadual pemilu. Awalnya adalah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengomentari temuan survei nasional yang bertajuk 'Pemulihan Ekonomi Pasca Covid-19, Pandemic Fatigue dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu 2024' yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia.
Survei itu salah satunya memuat temuan mengenai isu perpanjangan masa pemerintahan Jokowi hingga 2027. Bahlil menyatakan bahwa hal ini sejalan dengan beberapa diskusi yang dilakukannya dengan dunia usaha. Para pengusaha baru menghadapi persoalan pandemi Covid-19 dan saat ini perlahan bangkit.
Usulan Bahlil disambut sejumlah kalangan termasuk PKB, PAN, dan belakangan Ketua Umum PBNU. Baik PKB, PAN, maupun Yahya Staquf beralasan sama; situasi yang kurang kondusif menggelar pemilu di tahun 2024. Yahya mengatakan kalau usulan pemunduran jadual pemilu 2024 itu masuk akal melihat kondisi kekinian.
Ketum PKB, Muhaimin Iskandar, menjelaskan ada tiga persoalan besar yang dihadapi bangsa hari ini; investor cenderung menahan modal mereka sembari melihat perkembangan Pemilu 2024, transisi kekuasaan cenderung membuat perekonomian mengalami ketidakpastian, sehingga mengganggu momentum kebangkitan ekonomi. Menurut Muhaimin pemilu itu juga dikhawatirkan terjadi ekspolitasi ancaman konflik.
Sementara itu Ketum PAN, Zulkifli Hasan, mengatakan bahwa pemilu sebaiknya diundur karena khawatir terimbas krisis Rusia-Ukraina juga anggaran pemilu yang justru membengkak dari rencana efisiensi, lebih baik dikonsentrasikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Apakah usulan pemunduran jadual pemilu masuk akal seperti perkataan para pendukungnya? Jauuuh. Terutama karena usulan itu justru menabrak konstitusi demokrasi. Bahkan Yusril Ihza Mahendra mengatakan apabila hanya asal tunda pemilu dan asal perpanjang masa jabatan, maka ada kemungkinan timbul krisis legitimasi dan krisis kepercayaan dan berpotensial menimbulkan konflik politik yang bisa meluas ke mana-mana.
Lebih jauh lagi, menurut Yusril, para penyelenggara itu bisa dicap ilegal alias tidak sah karena menjalankan tugas tanpa adanya dasar hukum. Sehingga rakyat berhak tidak memiliki kewajiban untuk mematuhinya.
"Rakyat akan jalan sendiri-sendiri menurut maunya sendiri. Rakyat berhak untuk membangkang kepada Presiden, Wakil Presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR. Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal," katanya.
Lebih lanjut, Yusril menerangkan, penyelenggara di level ekstekutif yang masih sah menurut hukum hanya Panglima TNI dan Kapolri. Sebab, mereka hanya bisa diberhentikan presiden dengan disetujui DPR.
Dua jabatan itu tak bisa diberhentikan oleh presiden yang jabatannya tidak sah menurut konstitusi. Lanjut Yusril, beruntung bila Panglima TNI dan Kapolri memiliki kesadaran untuk menjaga persatuan dan kesatuan saat kondisi pemilu diundur. Bila tidak, bisa terjadi alih kekuasaan oleh militer atau kepolisian.
Mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, mengatakan penundaan itu bukan cuma mempengaruhi sistem jabatan presiden, tapi juga MPR, DPR, DPD, DPRD, hingga menteri. Karena bukan hanya presiden yang habis masa jabatannya, tapi juga anggota kabinet (menteri), dan anggota DPR, DPD, dan DPRD seluruh Indonesia karena masa jabatan mereka semua berakhir pada September 2024.
Sementara itu menurutnya, UUD 1945 tidak mengenal pejabat presiden. Menurut Pasal 8 UUD 1945, jabatan kepala presiden dan wakil presiden dapat digantikan oleh pelaksana tugas Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan, hanya jika presiden dan wapres berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan.
Dari kalangan Islam, Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan juga menolak usulan penundaan Pemilu 2024 mendatang. Ia mengingatkan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI tahun 2021 yang menyatakan bahwa masa jabatan presiden harus dibatasi maksimal dua periode.
Usulan pemunduran jadual pemilu itu adalah _otak atik gathuk_ elit politisi di medan demokrasi. Secara teori, dalam demokrasi rakyat memang berdaulat, tapi dalam praktiknya rakyat tak pernah benar-benar berdaulat. Para politisi-lah yang berdaulat. Mereka bisa merumuskan apa saja untuk kepentingan kelompok. Mereka nyaris tuli dan buta melihat apa yang dibutuhkan rakyat.
Soal usul pemunduran jadual pemilu ada tiga keganjilan; pertama, para pengusulnya mewakili kepentingan pengusaha. Kalau benar usulan itu untuk kepentingan rakyat, kenapa bukan rakyat yang diminta persetujuannya, kenapa justru pengusaha? Mungkin saja mereka berdalih para pengusaha itu menghidupi rakyat sehingga berarti usulan ini bermanfaat untuk rakyat. Tapi kenyataannya tidak semua kepentingan pengusaha sejalan dengan kebutuhan rakyat. UU Omnibus Law itu menguntungkan pengusaha bukan rakyat; bebas impor, tekan buruh, dsb.
Kedua, Soal anggaran pemilu sebaiknya digunakan untuk kesejahteraan rakyat adalah alasan yang keterlaluan. Pasalnya, DPR ramai-ramai mendukung UU IKN termasuk pemindahan ibukota dengan anggaran besar, tiba-tiba soal pemilu bicara rakyat lebih penting untuk disejahterakan. Bisa terbaca dua wajah politisi di alam demokrasi, kan. Sulit konsisten dan kongruen antara ucapan dan perbuatan.
Ketiga, pemunduran jadwal pemilu sarat kepentingan politik. Kelihatannya ada dua target yang bisa diraih para politisi andai jadwal pemilu benar diundur; _buying time_ bagi parpol dan elit politik untuk menaikkan elektabilitas mereka.
Selanjutnya pemunduran jadwal pemilu bisa jadi strategi untuk menggalang dukungan pengusaha supaya bisa injeksikan dana di ajang pemilu nanti. Dengan diundurkan jadwal pemilu para pengusaha bisa bernafas lebih panjang menyehatkan jejaring bisnis mereka, sehingga bisa memback up kepentingan parpol dan elit politik. Inilah kongkalikong pengusaha dan parpol serta elit politisi dalam sistem demokrasi. Inilah oligarki.
Jadi, usulan pemunduran jadwal pemilu ini lebih tepat akal-akalan ketimbang masuk akal. Tapi di alam demokrasi soal seperti ini sih sudah biasa. Namanya juga aturan buatan manusia, bisa dicopot dan dipasang semau-maunya.
Bagaimana reaksi Presiden dan para pembantunya? Kelihatannya seperti biasa, presiden menunggu arah gelombang, lalu memberikan sikap sesuai arah gelombang. Dengan begitu, dia selamat malah dianggap sebagai penyelamat. Menaker Ida Fauziyah dengan JHT-nya baru saja mengalaminya.
Oleh: Iwan Januar
Siyasah Institute