Tinta Media - Hidup di tengah arus kapitalisme saat ini tidak mudah. Apabila seseorang tidak bekerja, ia tidak akan mendapat uang sehingga tidak bisa membayar tagihan listrik, membayar sekolah, tidak bisa ke rumah sakit saat sakit, dan banyak lagi yang lain. Kalau seseorang tidak mempunyai harta, status sosialnya dipandang rendah di tengah masyarakat. Akhirnya, banyak yang menganggap bahwa rezeki identik dengan uang dan mereka sendirilah yang mendatangkan rezeki.
Sebagai contoh, seorang pegawai merasa layak mendapatkan kenaikan gaji karena dia sudah mati-matian bekerja keras. Pegawai ini menyangka bahwa dialah yang mendatangkan rezeki berupa kenaikan gaji. Akhirnya, ia terjebak dengan ritme kerja workaholic. Semakin banyak kerja, maka semakin banyak uang didapatkan dan tidak akan mengalami kesulitan hidup.
Akibat dari gila kerja ini, banyak orang meninggalkan ibadah kepada Allah Swt. Salah satu contoh ibadah kepada Allah Swt. adalah dakwah. Sejatinya, dakwah adalah wajib bagi setiap muslim. Akan tetapi, masih banyak orang yang meninggalkannya dengan berbagai alasan, termasuk sibuk bekerja, tidak ada waktu menuntut ilmu, belum cukup ilmu, dan merasa belum alim. Menurut Sobat, apakah alasan itu bisa dibenarkan?
Sesungguhnya, Allah Swt. tidak mungkin memberi aturan apabila manusia tidak mampu untuk menjalankannya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 286, yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupanya.”
Jadi, sebenarnya manusia itu sanggup menjalankan semua perintah Allah Swt. Akan tetapi, persoalannya adalah manusia itu mau atau tidak untuk mengusahakan taat pada Allah Swt. Apabila manusia tidak mau, sama saja artinya dia berlari menjauh dari Sang Maha Pemberi Rezeki, Allah Swt.
Akibatnya, muncullah berbagai alasan untuk tidak taat. Namun, bagaimana mungkin manusia mau mencari rezeki, tetapi malah berlari menjauh dari Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya:
“Sungguh Allah Swt. Dialah pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS az- Zariat: 58).
Sebenarnya, memiliki soft skill dan pekerjaan itu bukan penyebab datangnya rezeki. Semua itu hanyalah beberapa jalan menuju rezeki. Sedangkan Pemberi Rezeki hanyalah satu, yaitu Allah Swt. Jadi, manusia jangan takut kekurangan rezeki, apalagi sampai melakukan keharaman demi rezeki.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Baihaqi, Rasulullah bersabda,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya. Karena itu, janganlah merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah Swt. Wahai sekalian manusia, carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.”
Dalam salah satu ceramahnya, Sheikh Salih al-Maghamisi menyampaikan suatu kisah nyata yang menarik tentang rezeki.
Ada seorang laki-laki terjatuh ke dalam sumur dan dia berteriak minta tolong. Kemudian orang yang mendengar teriakannya pun bergegas menolong laki-laki tersebut dan berhasil mengeluarkannya dari dalam sumur dalam keadaan selamat. Salah seorang yang menolongnya memberi segelas susu untuk laki-laki tersebut dan berkata,
”Bagaimana bisa engkau terjatuh ke dalam sumur?”
Kemudian, laki laki itu pun menjawab setelah meminum dan menghabiskan segelas susu yang ada di tangannya. Laki-laki itu berdiri ke arah bibir sumur dan bercerita kronologi bagaimana kejadian yang dia alami. Qadarullah, laki-laki itu pun terjatuh kembali ke dalam sumur dan dia pun meninggal.
Cerita di atas merupakan bukti bahwa Allah Swt. akan mencukupkan jatah rezeki kepada seseorang, meski hanya segelas susu. Ketika sudah genap jatahnya, Allah Swt. pun mencabut nyawanya.
Dalam konteks ini, rezeki tidak melulu soal uang atau sesuatu yang berbentuk materi. Rezeki itu berasal dari kata Rozako-yarzuku-rizkon, yang bermakna pemberian. Sehingga, makna rezeki adalah sesuatu yang dikaruniakan oleh Allah Swt. kepada hamba-Nya, seperti kesehatan, istikamah menjalankan syariat, dan berdakwah.
Keistikamahan kita dalam berdakwah adalah rezeki yang paling besar karena aktivitas itu meniru perbuatan Rasulullah saw. Dakwah ini mendapat kemuliaan berupa Surga Firdaus. Jadi, masalah dunia tidak perlu dikhawatirkan lagi, karena apabila kita istikamah dalam menjalankan dakwah, artinya kita termasuk orang yang bertakwa.
Orang yang bertakwa akan dikasih rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah at-Thalaq ayat 2-3 yang, artinya:
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.”
Sayangnya, sistem kapitalis saat ini membuat orang memandang rezeki itu hanya berupa uang atau materi lainya. Akibatnya, banyak yang meninggalkan kewajiban, termasuk dalam mengkaji Islam dan dakwah hanya karena merasa bahwa hal itu bukan termasuk rezeki. Alhasil, aktivitasnya dari pagi sampai malam hanya mengarah pada sesuatu yang bisa mendatangkan uang atau materi lainnya.
Oleh karena itu, kita butuh belajar Islam secara kaffah supaya tidak terbawa arus pemahaman yang menjauhkan dari syariat Islam, seperti kapitalisme saat ini. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Ibnu Majjah, Rasulullah saw. bersabda,
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap indivudu muslim.”
Ternyata, ilmu yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah ilmu Islam. Maka, sebagai muslim yang taat kepada Allah, kita wajib mempelajari Islam secara kaffah dan serius mendakwahkan Islam ke yang lain.[]
Oleh: Cutiyanti
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok