Tinta Media - Topik mengenai kearifan lokal kembali diangkat ke permukaan. Rakyat diajak untuk kembali berbangga diri dengan kearifan lokal yang dimiliki. Tak hanya untuk berusaha membawa kepada kebaikan kehidupan, tetapi juga kebanggaan diri dan negara di hadapan dunia.
Makna Kearifan Lokal
Indonesia adalah satu negara yang amat kaya dengan kearifan lokal. Ada banyak sekali kearifan lokal yang dimiliki dari setiap daerah yang ada. Bahkan, inilah yang diklaim sebagai kekayaan budaya yang patut untuk selalu dilestarikan dan dibanggakan. Kaum muda juga selalu distimulasi untuk bangga dan melestarikan kearifan lokal ini.
Kearifan lokal nusantara erat dikaitkan dengan keberadaan budaya. Walaupun sejatinya, kearifan lokal merupakan bagian dari budaya dari suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri.
Kearifan lokal atau yang juga dikenal sebagai local wisdom biasanya diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal dapat ditemukan dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat.
Kearifan lokal merupakan suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat.
Saat ini, ada upaya untuk mempertentangkan kearifan lokal dengan agama. Apalagi kalau bukan Islam? Hasil buah budaya yang termasuk ke dalam kearifan lokal ini disajikan dengan penampilan yang diharapkan mampu dimaklumi dalam ajaran agama, dianggap sebagai suatu kebolehan karena termasuk ke dalam budaya nusantara.
Bahkan, sebagian komentar nyiyir juga menempatkan agama sebagai pengusik kearifan lokal. Sejumlah ajaran yang ada di dalam agama diharapkan mampu bersanding secara damai dengan produk budaya yang membanggakan, tak boleh dimunculkan rasa halal dan haram.
Agama Mengatur Budaya
Tentu suatu hal yang tak arif dan bijak dalam melakukan hal ini. Terlebih, seakan menempatkan agama dan budaya sebagai dua hal yang harus dipilih, yang hasilnya menentukan bagaimana kredibilitas dan kualitas seorang rakyat dalam menempatkan kesetiaannya pada negara tempat ia tinggal.
Bahkan lebih parahnya, siapa saja yang berusaha mengusik kearifan lokal dengan dalil agama, maka akan dimasukan ke dalam kategori kelompok radikal, kelompok yang hanya menginginkan Islam tanpa adanya ajaran lainnya.
Diembuskan lagi fitnah bahwa kelompok ini tak mencintai budaya dan kearifan dalam negeri karena hanya mengusung ajaran agama yang notabene tak berasal dari dalam negeri, tetapi berasal dari Timur Tengah yang tak memiliki citra dan rasa kenusantaraan.
Inilah yang terjadi ketika pemahaman masyarakat mengenai Islam amat minim. Benturan keduanya menjadi alat untuk memecah belah kalangan yang masih minim pengetahuan agama dengan kalangan yang ingin agama menjadi penyelesai segala problematika kehidupan. Ini karena mereka percaya bahwa agama Islam serta syariatnya mampu untuk mengakhiri segala kenestapaan kehidupan yang dihadapi saat ini.
Umat Islam haruslah memahami bahwa agama berperan sebagai pondasi dalam segala aspek kehidupan. Agama memuat standar kehidupan untuk menentukan mana yang bisa diambil dan mana yang harus ditinggalkan, termasuk juga dalam memandang budaya dan kearifan lokal ini. Budaya harus bisa tunduk pada pengaturan agama. Ini karena agamalah yang menjadi pangkal segalanya. Bukan sebaliknya, agama harus tunduk pada budaya dan membiarkan budaya dan sajiannya yang sejatinya bertentangan, dengan dalil menghormati budaya.
Jika tidak, akan terlihat sama bagaimana di zaman dahulu, ketika masyarakat Quraisy diseru kepada Islam, mereka lebih memilih budaya nenek moyang mereka, dengan menganggap Islam sebagai pengusik kearifan lokal yang ada.
Sebagaimana disebutkan di dalam surat As-Shafat ayat 35-36 yang berbunyi,
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?"
Oleh karenanya, muslim harus memiliki pemahaman yang utuh mengenai syariatnya. Ini dibantu oleh negara dengan memberikan pengajaran mengenai bagaimana menempatkan budaya dalam agama. Agamalah yang menjadi standar, mana yang sesuai dengan agama, maka bisa diambil, sedangkan mana yang tak sesuai dengan agama, maka harus dihilangkan.
Pemahaman ini bukan karena tak berbangga pada budaya, tetapi karena menempatkan agama sebagai standar kehidupan yang mengatur segala aspek di dalamnya. Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Rochma Ummu Arifah
Sahabat Tinta Media