Tinta Media - Ibarat jatuh tertimpa tangga, begitulah kondisi yang dialami masyarakat saat ini. Belum kelar masalah harga minyak goreng yang mahal sekaligus kelangkaannya di pasar, sekarang masyarakat dikejutkan lagi dengan kenaikan harga elpiji. Melalui PT Pertamina Niaga, sub Holding Commercial & Tranding, PT Pertamina (Persero) menaikkan harga gas elpiji nonsubsidi.
Menurut Irto Ginting, PJS Corporate Secretary PT Pertamina Putra Niaga SH C&T PT Pertamina (Persero), kenaikan ini dipicu naiknya harga gas dan minyak bumi dunia, yakni contract price Aramco (CPA) yang mencapai 775 dolar As/metrik ton, naik 21 persen dari sebelumnya. Terkait apakah harga gas yang naik akibat perang antara Rusia-Ukraina atau tidak, dia menjawab, pihaknya masih memantau terkait dampaknya. Namun, dia mengatakan, harga CPA sudah tinggi sebelum konflik Rusia-Ukraina memanas (kompas 13/2022).
Tidak tanggung-tanggung, selisih kenaikan harga elpiji nonsubsidi cukup mengejutkan, dari harga Rp165. 000 menjadi Rp200.000 untuk LPJ 12 Kg, sementara untuk elpiji subsidi 3 Kg harganya tetap. Tak ayal, kenaikkan harga elpiji nonsubsidi membuat pelaku usaha mengalihkan penggunaannya ke elpiji subsidi demi mengurangi pengeluaran yang membengkak. Mereka berupaya meminimalisasi pembengkakan modal yang naik secara bersamaan. Semua itu mereka lakukan agar usahanya tetep berjalan, meski untungnya sedikit.
Salah Kelola SDA
Ironi, padahal negeri ini merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam dan merupakan penghasil gas bumi terbesar di dunia. Tentu kekayaan alam yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, asalkan dikelola dengan benar dan hasil pengelolaannya dikembalikan kepada rakyat. Kalau pun tidak gratis, setidaknya harganya jauh lebih murah sehingga bisa terjangkau oleh rakyat.
Sayangnya, hal itu tidak mungkin terjadi, karena harga seluruh komoditas bahan bakar, baik minyak bumi dan gas alam harus mengikuti harga di pasar dunia. Selain itu, hampir seluruh tambang migas di negeri ini dikelola pihak swasta (asing).
Berhasilnya swasta bermain di bagian hulu dan harga migas yang harus mengikuti ketentuan dunia adalah buah dari masuknya UU migas yang bernuansa liberal. Pemain asing diizinkan masuk untuk mengeruk kekayaan alam, sedangkan anak bangsa sendiri hanya mendapatkan sedikit, bahkan tidak ikut merasakan sama sekali.
Kalau sudah begini, kapitalislah yang meraup untung, sedangkan bangsa sendiri buntung. Ujung-ujungnya rakyat jugalah yang menderita. Inilah bukti jika liberalisasi sudah terlanjur mendarah daging di negeri ini, termasuk dalam persoalan migas.
Seharusnya tugas negara yang paling utama adalah menjamin dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dengan baik. Negara menjamin setiap individu rakyat untuk dapat memenuhi kebutuhan asasinya tanpa dibayangi dengan kelangkaan dan mahalnya harga.
Negara juga menjamin bahwa setiap individu rakyatnya terurus dengan baik, memudahkan mereka mengakses berbagai kebutuhan, layanan publik, serta fasilitas dan sumber daya alam yang menguasai hajat publik. Sayangnya, sistem kapitalis liberal telah melalaikan tugas pokok ini dan fungsi negara sebagai pelayan rakyat. Para penguasa kapitalis lebih mengutamakan kepentingan korporasi. Rakyat ibarat kelas dua. Alhasil, kebijakan tak pernah berpihak kepada rakyat.
Solusi dalam Islam
Dalam Islam, tugas penguasa adalah ri'ayah syu'un al ummah, yaitu mengurusi kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Penguasa bukanlah pelayan kepentingan korporat atau pejabat. Negara bertanggung jawab atas pengelolaan SDA yang berkaitan dengan publik. Negara tidak boleh menyerahkan pengaturan publik, seperti minyak bumi, gas alam dan yang lainnya kepada individu atau swasta.
Negaralah satu-satunya yang mengelola hajat publik, mulai dari proses produksi, distribusi, hingga masyarakat dapat memanfaatkan secara murah atau gratis. Elpiji murah bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan jika pengelolaanya berdasarkan syari'at Islam.
Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu air Padang rumput dan air.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Hadis tersebut adalah pedoman bahwa pengelolaan hajat publik yang sifatnya tidak terbatas dan dibutuhkan masyarakat tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, kelompok, ataupun negara. Negara hanya bertugas mengelola dan mendistribusikan hasil pengelolaanya kepada masyarakat secara murah atau gratis.
Pengelolaan yang demikian hanya akan terwujud jika negara mengambil sistem Islam dan menerapkan semua syariatnya, serta mencampakkan sistem kapitalis liberal, yang nyata-nyata hanya menjadi sumber penderitaan umat manusia selama ini.
Wallahu a'lam bishawwab.
Oleh: Lielie Herny
Aktivis Muslimah dan Ibu Rumah Tangga