Tinta Media - Ketua Koalisi Persaudaraan Advokat dan Umat (KPAU) Ahmad Khozinudin, S.H. mengkritik dan membantah lima ciri penceramah radikal ala BNPT.
“Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwahid, menyebut ada lima ciri penceramah radikal. Berikut ini, kritik dan bantahan atas ciri penceramah radikal ala BNPT,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (8/3/2022).
Pertama, BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. “Kriteria pertama ini tendensius dan rawan dijadikan alat gebuk pada ajaran Islam Khilafah. Ajaran yang bertentangan dengan Pancasila, tidak pernah didefinisikan secara jujur. Kapitalisme liberal yang diterapkan di negeri ini, yang menyebabkan rakyat sengsara, seluruh tambang dikuasai swasta, asing dan aseng, tidak pernah disebut bertentangan dengan Pancasila,” ujarnya.
Menurutnya, ajaran komunisme dan sosialisme, juga tidak diungkap. Pancasila hanya dijadikan alat gebuk kepada Islam dan ajarannya, baik jihad dan terkhusus khilafah. Padahal, MUI memberikan rekomendasi kepada masyarakat dan pemerintah agar jihad dan khilafah diharapkan tidak dipandang negatif.
“Dalam Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI ke VII, MUI menegaskan jihad dan khilafah adalah ajaran Islam,” terangnya.
“Apakah BNPT mau membangkang pada fatwa yang dikeluarkan MUI? Sudah jelas, dalam urusan ajaran Islam khilafah, MUI lebih berkompeten ketimbang BNPT,” tegasnya.
Kedua, BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. “Ini lebih lucu lagi. Dalam Islam semua yang beragama lain (non Islam), itu memang disebut kafir. Jika memerangi umat Islam disebut Kafir Harbi, sementara jika berdampingan hidup damai dengan umat Islam disebut Kafir Dzimmi,” bebernya.
Menurutnya, keyakinan yang menyimpang dari akidah Islam seperti penganut Ahmadiyah, memang terkategori kafir karena telah mengimani ada Nabi lagi setelah Muhammad SAW. dan mengimani kitab lain setelah Al Qur'an. Pandangan seperti ini sudah biasa dikalangan Umat Islam.
“Apa BNPT mau menyebarkan bid'ah, dengan menyebut non muslim itu bukan kafir? Lantas disebut apa? Benar-benar satu tindakan jahil yang keluar dari pemahaman batil,” katanya.
Ketiga, BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintah yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian dan sebaran hoaks. “Ajaran Islam yang terpenting itu adalah dakwah. Dakwah meluruskan penguasa, itu tanda cintanya rakyat kepada penguasa,” ungkapnya.
“Lalu, apa dasarnya menjadikan dakwah amar makruf nahi mungkar kepada penguasa sebagai ciri radikal, dituduh anti pemerintah? Partai oposisi itu biasa menentang pemerintah. Sebenarnya, yang radikal itu umat Islam atau BNPT?” herannya.
Ahmad menegaskan, sejak Islam dibawa Rasulullah SAW hingga hari kiamat, kewajiban dakwah tidak pernah hapus. Mendakwahi penguasa bukan konfirmasi kebencian, tapi tanda cinta yakni ingin menyelamatkan penguasa dari kezaliman dan siksa api neraka yang pedih. Begitu filosofinya.
Keempat, BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman. “Kalau itu terkait ibadah, umat Islam memang ekslusif. Umat Islam tidak mau mencampuri ibadah agama lain, dan tidak mau pula agama lain ikut ibadah umat Islam. Umat Islam ibadah di masjid, tidak mengganggu yang ke gereja atau ke wihara. Tapi umat Islam, juga ogah ke gereja dengan dalih pluralisme,” tukasnya.
Menurut Ahmad, hal yang seperti ini dilandaskan pada pandangan 'lakum dînukum waliya dîni (untukmu agamamu, dan untukku agamaku)'. “Nah kalau yang begini radikal, apa umat Islam disuruh Yasinan ke Gereja? Ikut ibadah di Gereja? Tidak . Umat Islam eksklusif dalam urusan ini, sebagaimana agama lain juga menerapkan hal yang sama,” ujarnya.
Kelima, BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang memiliki pandangan anti budaya atau anti kearifan lokal keagamaan. “Ini maksudnya apa?” tanya Ahmad.
Menurutnya, kalau budaya itu berimplikasi pada kekufuran, seperti mengorbankan binatang untuk tumbal sesembahan, itu dilarang. Dan umat Islam, meninggalkan budaya seperti ini yang bertentangan dengan akidah Islam.
“Kalau budaya itu sejalan dengan Islam, seperti sungkem saat idul Fitri, ini sejalan dengan ajaran birrul walidain (berbakti pada kedua orangtua). Maka, umat Islam tidak pernah menghalangi bahkan mempraktekkan birrul walidain yang diantaranya dengan sungkem, yakni mencium tangan kedua orang tua, mengajukan permohonan maaf dan meminta ampun kepada keduanya,” bebernya.
Ahmad mempertanyakan kearifan lokal keagamaan itu apa? Kalau menyembelih ayam, darahnya ditampung dan digoreng sebagai hidangan, itu bukan kearifan lokal. Islam mengharamkan darah, sehingga hidangan seperti ini wajib segera ditinggalkan.
“Entahlah, BNPT tak paham agama, tapi begitu mudahnya tuding radikal. Satu tudingan yang memecah belah bangsa, merusak kain tenun kebangsaan yang telah dijahit rapih oleh para pendahulu bangsa Indonesia,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun