Tinta Media - Kisruh minyak goreng yang terjadi di negeri ini dinilai oleh Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky karena negara ditunggangi “kuda liar”.
“Kalau kita lihat justru tidak sekedar berhadapan, bukan sekedar kalah dengan mafia, tapi sudah ditunggangi ‘kuda liar,” tuturnya dalam acara Islamic Lawyers Forum #41: Negara Kalah Sama Mafia? Kamis (24/3/2022) melalui channel Youtube LBH Pelita Umat.
Wahyudi menjelaskan kenapa kuda liar? Karena yang menunggangi ini adalah sistem pemerintahan hasil bentukan dari sebuah pesta demokrasi yang begitu mahal. Sistem kompromistis yang merupakan kolaborasi antara politisi dan para investor politik.
“Dalam konteks ini sistem demokrasi tidak memiliki rel yang harus dijalankan. Karena demokrasi meletakkan kedaulatan membuat hukum, benar dan salah, bahkan mengubah di tengah jalan, diserahkan kepada tangan manusia dalam hal ini wakil rakyat ataupun para penguasa tadi,” terangnya.
Dengan realita seperti itu, lanjutnya, maka begitu ada peluang untuk ditunggangi atau saling menunggangi kapan pun bisa berbalik arah. “Ini yang saya gambarkan sebagai kuda liar,” tegasnya.
“Ketika negara dalam konteks ini pemerintahannya dibentuk oleh sistem demokrasi yang begitu mahal, kemudian mereka diberi kewenangan di luar batas kemampuan manusia. Yaitu menentukan benar dan salah, menentukan baik dan buruk bahkan boleh membuat hukum sendiri karena kedaulatan ada di tangan mereka, mengatasnamakan rakyat, ini bisa memutar balik kapan saja. Bahkan kesepakatan konstitusional yang sudah disepakati pun bisa mereka ubah. Nah ini menurut saya yang menjadi problematika terbesar,” analisisnya.
Jadi, lanjut Wahyudi, dalam sistem seperti ini bukan sekedar negara kalah oleh mafia tapi negara sudah ditunggangi. Bahkan negara bisa diputarbalikkan arah ke mana saja, sesuka mereka. Kapan mereka punya kepentingan disitulah mereka akan mengeluarkan kebijakan dengan mengatasnamakan negara atau menunggangi negara. Negara tidak punya rel lagi.
“Celakanya hukum jadi tidak berfungsi efektif. Karena kalau pun hukum digunakan untuk para mafia atau oligarki hukum akan tumpul, baik dari segi prosesnya bisa lamban, panjang atau bahkan bisa mandeg, tidak jelas lagi kapan bisa diselesaikan. Bahkan kalau itu berhadapan dengan para oligarki, tiba-tiba yang berhadapan itu dilaporkan balik. Kalau hukum itu mengganggu mereka, bisa diubah oleh mereka,” jelasnya.
Wahyudi menilai, ketika sebuah negara dibangun dengan tatanan demokrasi , kebijakannya akan sangat tergantung dengan kebijakan para oligarki atau para pemilik modal atau para mafia yang mengendalikan negara. “Bahasanya bukan negara kalah tapi negara ditunggangi mereka,” simpulnya.
“Nah kalau diharapkan negara harus hadir dalam konteks welfare state, ini sulit. Bagaimana negara mau hadir? Dia mau hadir tapi dikendalikan,” tukasnya.
Wahyudi memberikan contoh ketidakmampuan negara hadir dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng adalah bukti negara sedang dikendalikan oleh para oligarki atau mafia.
“Padahal negara itu dibentuk untuk minimal menjalankan tugas fungsi. Melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan rakyat,” tandasnya.
Wahyudi menyimpulkan selama pemerintahan itu dibentuk melalui mekanisme demokrasi, akan sangat sulit bisa keluar dari cengkeraman para pengusaha, karena mahalnya biaya politik demokrasi.
“Dalam sistem demokrasi sulit untuk keluar dari tekanan mafia, nyaris tidak bisa,” tegasnya. [] Irianti Aminatun