Tinta Media - Senin, 14 Maret 2022, Presiden Jokowi bersama 34 Gubernur se-Indonesia, telah menyatukan seluruh tanah dan air ke dalam sebuah gentong besar yang disebut sebagai gentong Nusantara. Ritual tersebut menurut Jokowi adalah simbol kebhinekaan dan persatuan.
Banyak yang menyayangkan ritual mistis tersebut. Terkesan formil dan resmi serta difasilitasi oleh negara, seakan-akan menjadi parade perdukunan. Mengharap keberkahan dari penyatuan air dan tanah jelas merupakan tindakan jahiliyah modern, syiar kekufuran dan kesesatan.
Sejarah memang mempunyai rumus yang berulang. Praktik mistis dan perdukunan yang diformilkan oleh negara, pernah terjadi di masa lampau. Ketika Fir'aun berkuasa, perdukunan dan mistis dilegalkan. Hal tersebut ditandai dengan para dukun dan tukang sihir di sekitar Fir'aun. Mereka _stand by_ setiap saat, memainkan tipuan sihir-sihirnya untuk menundukkan manusia atau rakyat di bawah kekuasaan Fir’aun.
Para tukang sihir inilah yang berperan besar dalam menciptakan sosok Fir’aun menjadi begitu luar biasa dan ditakuti rakyatnya. Mulai dari modus sihir menyulap tali menjadi ular, membunuh orang dari jarak jauh, hingga banyak lagi model sihir yang diperagakan untuk menakuti rakyat.
Berbagai praktik sihir dilakukan oleh Fir'aun hingga ia jatuh ke dalam jurang kehancuran dan kenistaan akibat pembangkangan terhadap perintah dari Tuhan. Ia melegalkan kemaksiatan demi kekuasaan.
Saat ini, kemaksiatan dalam bentuk paling mengkhawatirkan juga dipertontonkan secara vulgar di tengah-tengah umat. Karena itu, hendaklah kaum muslimin melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, mengingatkan bahwa ritual-ritual yang mengandung kesyirikan akan mendatangkan azab yang pedih dan besar, bukan hanya bagi pelaku ritual kemusyrikan, tetapi menimpa bangsa dan negara karena sudah diformilkan dalam spektrum kenegaraan.
Seorang kepala negara sudah seharusnya mendorong tradisi yang mendidik bangsa untuk bersikap rasional sebagai modal hidup di masa kini dan masa datang. Selain itu, kepala negara hendaknya menanamkan kepribadian beragama yang kuat dalam lingkup berbangsa dan bernegara. Ritual menebar tanah dan memercikkan air, seperti yang dilakukan presiden dan kepala daerah, serta dilakukan secara vulgar, telah mengajarkan masyarakat untuk percaya pada klenik. Hal tersebut termasuk kategori kemusyrikan, yaitu menyekutukan Allah Swt. dengan selain-Nya.
Seorang kepala negara harus berkepribadian Islami dan didukung oleh sistem yang Islami, sehingga jauh dari praktik-praktik mistis, klenik, bid'ah, takhayul, dan khurafat, baik dalam ruang lingkup privat maupun dalam spektrum pemimpin kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, sejarah Fir'aun yang tergenang oleh gelombang laut tidak berulang karena kehidupan mistis di area kenegaraan.
Ritual kendi Nusantara yang menyatukan tanah dan air dari berbagai wilayah di Indonesia tidak akan membawa keberkahan dan manfaat sama sekali. Justru sebaliknya, hanya akan mendatangkan bencana dan malapetaka karena kesyirikan serta kekufuran telah dilaksanakan secara sistematis, masif dan terstruktrur oleh penguasa negara.
Wallahualam
Oleh: Fastaghfiru Ilallah
Sahabat Tinta Media