Tinta Media - Masih banyaknya kementerian yang doyan menggunakan barang impor, Direktur Lingkar Studi Ekonomi Ideologis ( eLSEI) Arif Firmansyah, S.E.,M.M. menilai Jokowi tidak serius untuk menghentikannya.
“Kalau kita perhatikan, publik belum melihat keseriusan dari Presiden untuk menuangkan dalam sebuah Instruksi Presiden atau Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang untuk menghentikan atau mengurangi secara signifikan kebijakan impor tersebut,” tuturnya dalam acara Kabar Petang : Kebijakan Doyan Impor: Siapa yang Bodoh? Selasa (29/3/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Menurutnya, kalau Presiden sudah mengeluarkan instruksi seperti itu, seharusnya ditindaklanjuti dengan produk hukum seperti Keppres, Perppu khusus untuk menghentikan impor.
“Sebelumnya Jokowi pernah menyampaikan pidato yang hampir sama, benci produk asing. Tidak usah pakai produk asing, pakailah produk dalam negeri. Tapi fakta di lapangan, kementerian sebagai pelaksana kebijakan pemerintah ternyata masih cukup besar impornya,” ungkapnya.
Arif mendapati impor justru semakin meningkat. Periode Januari-Desember 2021 besar impor senilai lebih dari 20 juta dolar AS. Meningkat dibanding periode sebelumnya hanya sekitar 14 juta dolar AS. Lebih disayangkan lagi, kata Arif, sebagian besar barang impor adalah barang jadi.
“Kalau impor barang barang modal atau barang penolong, mungkin masih bisa dilakukan. Artinya kalau impor barang modal, misalkan mengimpor mesin untuk menghasilkan produk jadi, untuk sementara kita bisa menerima. Tapi berikutnya harus tetap bisa mandiri secara ekonomi atau teknologi,” jelasnya.
Sayangnya, lanjut Arif, Indonesia justru mengimpor barang-barang konsumsi, seperti, pensil, seragam atau impor pangan seperti beras, garam, kedelai dan lain-lain. Ini memprihatinkan. “Artinya kita hanya sebagai pangsa pasar dari produk-produk jadi negara lain,” sesalnya.
Menurutnya, hal ini malah bisa mematikan produsen dalam negeri. “Bagaimana kita mau meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional kalau produsen dalam negeri saja dimatikan dengan impor. Sedangkan mereka sebenarnya masih mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tapi dipaksa untuk menerima produk jadi dari luar negeri. Mereka terpaksa bertarung dengan barang impor yang cenderung lebih murah. Ini bisa mematikan industri dalam negeri,” ujarnoya.
Di satu sisi, Presiden mendorong UMKM untuk semakin kuat, lalu kata Arief, UMKM mau berdiri, mau bangkit tapi ternyata diserang dengan barang impor yang jauh lebih murah. “Bagaimana mereka bisa bertahan?Jangankan produktifitas tinggi, bisa jadi bertahan saja tidak mampu. Ini bisa menghancurkan ekonomi rakyat,” tegasnya.
Arif menduga saat ini negara dikuasai oligarki baik oligarki politik maupun ekonomi. Oligarki ini memiliki kendali yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah sehingga pemerintah tidak kuasa untuk menolak mereka. Contoh nyata adalah kasus minyak goreng.
“Indonesia tersandera oleh kepentingan politik ekonomi dari oligarki sehingga menyebabkan kebijakan ekonomi tidak sesuai dengan apa yang di pidatokan oleh Presiden waktu aksi afirmasi bangga buatan produk Indonesia,” simpulnya.
Menurut Arif, para oligark itu bisa menekan pemerintah untuk melakukan impor apa saja, hingga produk impor membanjiri Indonesia. “Dalam jangka panjang ini bisa membahayakan kedaulatan ekonomi Indonesia. Dengan semakin memperbesar kran impor terhadap segala macam barang, kita dipaksa tergantung dengan produk luar negeri,” tuturnya mengingatkan.
Solusi Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, lanjut Arif impor adalah hal yang wajar dengan catatan jangan sampai memunculkan ketergantungan.
Arif lalu mengisahkan bagaimana Rasulullah dulu pernah melakukan impor. “Saat itu ekonomi dan pasar Madinah dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Harga di pasar dipermainkan oleh Yahudi sehingga sangat mahal dan menyebabkan kaum muslimin tidak bisa membelinya dengan harga terjangkau. Rasul lalu meminta pengusaha seperti Usman bin Affan mendatangkan barang (impor) dari Syam,” kisahnya.
Arif menyimpulkan bahwa impor boleh dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekonomi agar tidak dipermainkan oleh para kartel. Di samping itu impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bukan keinginan. Impor juga bukan menjadi lahan mencari untung sesaat dari para rente. Faktanya Sayidina Usman waktu mendatangkan barang-barang dari Syam, beliau menggratiskan barang itu kepada masyarakat, beliau tidak ngambil untung.
“Pengusaha seperti ini contoh pengusaha dalam Islam. Saat negara kesulitan ekonomi, pengusaha itu mendatangkan barang dan menggratiskan kepada masyarakat agar bisa menekan para kartel yang mempermiankan harga sehingga mereka terpaksa menurunkan harga sesuai dengan kewajaran,” tuturnya memberikan contoh.
Islam tidak melarang impor, tegasnya. Tapi Islam melarang impor kalau mematikan produsen dalam negeri, dan menjadikan ketergantungan sehingga negara dikuasai oleh pihak asing.
“Islam melarang negara dikuasai atau dkendalikan oleh pihak asing dalam perekonomian termasuk impor,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun