Kementerian Masih Doyan Impor, eLSEI: Jokowi Tak Serius Menghentikannya - Tinta Media

Kamis, 31 Maret 2022

Kementerian Masih Doyan Impor, eLSEI: Jokowi Tak Serius Menghentikannya

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1TE7sIlvkdLKqRKU7pp9a5gVyzp_uFg5G

Tinta Media - Masih banyaknya kementerian yang doyan menggunakan barang impor, Direktur Lingkar Studi Ekonomi Ideologis ( eLSEI) Arif Firmansyah, S.E.,M.M. menilai Jokowi tidak serius untuk menghentikannya.

“Kalau kita perhatikan, publik  belum melihat keseriusan dari Presiden untuk menuangkan dalam sebuah Instruksi Presiden atau Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang untuk menghentikan atau mengurangi secara  signifikan kebijakan impor tersebut,” tuturnya dalam acara Kabar Petang : Kebijakan Doyan Impor: Siapa yang Bodoh? Selasa (29/3/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.

Menurutnya, kalau Presiden sudah  mengeluarkan instruksi seperti itu, seharusnya ditindaklanjuti dengan produk hukum seperti Keppres, Perppu khusus untuk menghentikan impor.  

“Sebelumnya Jokowi pernah menyampaikan pidato yang hampir sama,  benci produk asing. Tidak usah pakai produk asing, pakailah produk dalam negeri. Tapi fakta di lapangan, kementerian sebagai pelaksana kebijakan pemerintah  ternyata masih cukup besar impornya,” ungkapnya.

Arif  mendapati impor justru semakin meningkat. Periode Januari-Desember 2021 besar impor senilai lebih dari 20 juta dolar AS. Meningkat dibanding periode sebelumnya hanya sekitar 14 juta dolar AS. Lebih disayangkan lagi, kata Arif, sebagian besar barang  impor adalah barang jadi.

“Kalau  impor barang  barang modal atau barang  penolong, mungkin masih  bisa dilakukan. Artinya  kalau impor barang  modal, misalkan  mengimpor mesin untuk menghasilkan produk jadi, untuk sementara kita bisa menerima. Tapi berikutnya harus  tetap bisa mandiri secara ekonomi atau teknologi,” jelasnya.

Sayangnya, lanjut Arif, Indonesia justru mengimpor barang-barang  konsumsi, seperti, pensil, seragam atau impor pangan seperti  beras, garam, kedelai dan lain-lain. Ini memprihatinkan.  “Artinya kita hanya sebagai pangsa pasar dari produk-produk jadi negara lain,” sesalnya.

Menurutnya, hal ini malah bisa mematikan  produsen  dalam negeri. “Bagaimana kita mau meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional kalau produsen dalam negeri saja dimatikan dengan impor.  Sedangkan mereka sebenarnya masih mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tapi dipaksa untuk menerima produk jadi dari luar negeri. Mereka terpaksa bertarung dengan  barang impor yang cenderung lebih murah.  Ini bisa mematikan industri dalam negeri,” ujarnoya.

Di satu sisi, Presiden  mendorong UMKM untuk semakin kuat, lalu kata Arief, UMKM mau berdiri, mau bangkit tapi ternyata diserang dengan barang impor yang jauh lebih murah. “Bagaimana mereka bisa bertahan?Jangankan produktifitas tinggi, bisa jadi bertahan saja tidak mampu. Ini bisa menghancurkan ekonomi rakyat,” tegasnya.

Arif menduga saat ini negara dikuasai oligarki baik oligarki politik maupun ekonomi. Oligarki ini memiliki kendali yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah sehingga pemerintah tidak kuasa untuk menolak mereka. Contoh nyata adalah kasus  minyak goreng.

“Indonesia  tersandera  oleh kepentingan politik ekonomi dari oligarki sehingga menyebabkan kebijakan ekonomi  tidak sesuai dengan apa yang di pidatokan oleh Presiden  waktu aksi afirmasi bangga buatan produk Indonesia,” simpulnya. 
 
Menurut Arif, para oligark itu bisa menekan pemerintah untuk melakukan impor apa saja, hingga produk impor membanjiri Indonesia. “Dalam jangka panjang ini  bisa membahayakan kedaulatan ekonomi Indonesia. Dengan  semakin memperbesar kran impor terhadap segala macam barang, kita dipaksa tergantung dengan produk luar negeri,” tuturnya mengingatkan.

Solusi Islam

Dalam sistem ekonomi  Islam, lanjut Arif  impor adalah hal yang  wajar dengan  catatan jangan sampai memunculkan ketergantungan.

Arif lalu mengisahkan bagaimana Rasulullah dulu pernah melakukan impor. “Saat itu ekonomi dan pasar  Madinah dikuasai oleh orang-orang  Yahudi. Harga di pasar dipermainkan oleh Yahudi sehingga sangat mahal dan  menyebabkan kaum muslimin tidak bisa membelinya dengan harga terjangkau. Rasul  lalu meminta  pengusaha seperti Usman bin Affan mendatangkan barang (impor)  dari Syam,” kisahnya.

Arif menyimpulkan bahwa  impor  boleh dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekonomi agar tidak dipermainkan oleh para kartel. Di samping itu impor  dilakukan untuk   memenuhi  kebutuhan bukan keinginan. Impor juga bukan   menjadi lahan mencari untung sesaat dari para rente. Faktanya Sayidina Usman waktu mendatangkan barang-barang dari Syam, beliau menggratiskan barang itu kepada masyarakat, beliau tidak ngambil untung.

“Pengusaha seperti  ini contoh pengusaha dalam Islam. Saat negara kesulitan ekonomi, pengusaha itu mendatangkan barang dan menggratiskan kepada masyarakat agar bisa menekan para kartel yang mempermiankan harga  sehingga mereka terpaksa menurunkan harga sesuai dengan kewajaran,” tuturnya memberikan contoh.

Islam tidak melarang impor, tegasnya.   Tapi Islam melarang impor kalau mematikan produsen dalam negeri, dan  menjadikan ketergantungan sehingga negara dikuasai oleh pihak asing.  

“Islam melarang negara dikuasai atau dkendalikan oleh pihak asing dalam perekonomian termasuk impor,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :