Tinta Media - Pembiaran Presiden Jokowi atas wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dinilai Pakar Hukun dan Masyarakat Prof. Suteki sebagai sikap abu-abu, inkonsisten, ambigu, dan hipokrit.
“Pak presiden itu menurut saya, mengalami anti klimaks terhadap gonjang ganjing wacana ini karena terkesan abu-abu, inkonsisten, ambigu, dan hipokrit,” tuturnya dalam segmen Tanya Profesor: Hipokritnya Pernyataan Jokowi Soal Wacana Penundaan Pemilu, Ahad (6/2/2022) di kanal Youtube Prof. Suteki.
Dalam tinjauan hukum, tindakan Presiden Jokowi yang katanya taat konstitusi tapi membiarkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden atas nama demokrasi, menurut Prof. Suteki pernyataan itu tidak konsisten atau inkonsistensi.
“Beliau menyatakan jika ada orang yang mendorong perpanjangan jabatan presiden hingga tiga periode itu, waktu itu dikatakan, menampar mukanya, mencari muka (padahal beliau bilang sudah punya muka) dan menjerumuskannya. Lalu kenapa selama dua minggu ini heboh, terjadi gonjang ganjing persoalan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Itu terkesan beliau membiarkan perbincangan ini yang jelas memenuhi tiga hal tadi disebutkan menampar mukanya, mencari muka, dan justru menjerumuskannya,” ujarnya.
Ia pun mempertanyakan pernyataan presiden terkait wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden bagian dari demokrasi. Sifatnya seperti anti klimaks. “Apakah yang demikian itu? Kalau kita katakan kemudian dengan pernyataan yang kemarin itu, sifatnya kayaknya anti klimaks. Karena beliau justru mengatakan itu adalah bagian dari demokrasi,” tanyanya.
Menurutnya, presiden itu sebagai kepala negara dan pemerintahan dari awal itu sikapnya harus tegas ketika ada wacana terkait dengan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. “Yang jelas itu adalah inkonstitusional,” tuturnya.
Ia menjelaskan, wacana tersebut bertabrakan dengan konstitusi dan presiden harus berani mengatakan untuk menyetop wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Sehingga tidak terjadi bola liar yang benar-benar menguras energi anak bangsa dari semua kalangan.
“Jelas bertabrakan dengan konstitusi,” pungkasnya. [] Ageng Kartika