Tinta Media - Belum genap tahun 2022 berjalan, para pekerja kembali diselimuti lara. Setelah terancam tidak mendapatkan uang pesangon serta pemutusan kerja secara sepihak sebagaimana yang tertuang dalam UU Cipta Lapangan Kerja yang berwatak kolonial, kini nasib pekerja kembali dipertaruhkan melalui Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 soal tunjangan hari tua yang akan diberlakukan pada Mei 2022.
Dikutip dari m.kumparan.com, Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah mengatakan bahwa dana jaminan hari tua (JHT) bisa dicairkan apabila pegawai telah berusia 56 tahun. Ketentuan ini terbit setelah difasilitasi melalui
Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Kabarnya, uang yang masuk di bawah pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan ini awalnya bisa dicairkan dalam jangka waktu 1 bulan pasca pengunduran diri atau PHK. Namun, tiba-tiba ketentuan itu berubah dalam sekejap mata. Tentu hal ini semakin menambah beban berat para pekerja. Sebab, pecairan jaminan yang mereka harapkan bisa menjadi penopang hidup, justru penggunaannya malah dipersulit oleh pemerintah.
Kurniasih Mufidayati, anggota Komisi IX mengkritisi masalah ini.
"Pekerja yang mencairkan JHT karena memang butuh, karena di-PHK, dan mundur dari perusahaan karena dampak pandemi. Mereka menggunakan dana JHT untuk bertahan sembari berusaha mencari pekerjaan baru," katanya dalam pernyataan yang dikutip kumparan, Minggu (13/2).
Padahal jika ditelisik, sebetulnya JHT sendiri diambil dari gaji para pekerja sendiri yang dipotong setiap bulannya, bukan berasal dari alokasi dana yang diberikan negara kepada para pekerja. Tentu sangat tidak logis jika negara membatasi penggunaan hasil jerih payah mereka sendiri.
Akibat banyaknya penolakan terhadap permenaker tersebut, presiden meminta agar menteri tenaga kerja melakukan revisi. Sementara, wong cilik cuma pasrah terima nasib. Paling banter, mereka meneriakan suara kekecewaannya pada penguasa yang lagi-lagi tak pernah berpihak atas keberlangsungan kesejahteraan hidup yang kian hari makin mencekik. Harga-harga kebutuhan makin melambung tak terkendali, bahkan susah di cari. Ditambah lagi pandemi tak kunjung berhenti.
Kesejahteraan hidup di sistem yang serba kapitalis hanyalah mimpi di siang bolong yang tak mungkin bisa terwujud. Kezaliman penguasa memang tak berperi. Kaum pekerja diperas habis-habisan saat usia produktif mereka, sedangkan di masa tua, negara sama sekali tak menaruh perhatian.
Akan berbeda jika ini soal keuntungan korporasi atau pemilik modal. Dalam hal ini, perhatian pemerintah sangat luar biasa. Begitulah tabiat kapitalis, habis manis sepah dibuang. Semua soal hitungan dagang, tidak ada kamus dalam pemerintah untuk mengurus dan memberikan kesejahteraan hidup bagi rakyatnya.
Dari sini, muncul penilaian bahwa negara sebenarnya tidak amanah dalam mengelola dana para pekerja yang masuk di bawah BPJS ketenagakerjaan yang nominalnya sudah mencapai Rp550 Triliun. (katadata.co.id,14/02/2022)
Di sinilah urgensinya istilah jaminan hari tua. Tunjangan atau penghargaan muncul seperti pendahulunya BPJS, SJSN karena proses tambal sulam sistem kapitalis yang mengamputasi fungsi negara dalam mengurusi urusan pribadi rakyat.
Sebab, kapitalis memandang bahwa negara tidak ada hak mencampuri ranah pribadi warga negaranya, dalam hal ini kewajiban untuk menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain. Artinya semua harus ditanggung sendiri oleh rakyat.
Padahal, dalam Islam, menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain adalah kewajiban negara, bukan rakyat.
Apabila memenuhi kewajibannya kepada rakyat, tetapi tidak memiliki kecukupan anggaran, negara boleh mengambil dana dari masyarakat dengan skema dharibah (pajak). Namun, ini diberlakukan sesuai dengan kebutuhan, bersifat insedental karena dalam kondisi darurat atau mendesak. Pungutan hanya dikenakan pada kaum muslimin bukan non-muslim, pria dan mampu (aghniya').
Inilah akar masalah yang harus diselesaikan, yaitu mengubah paradigma bahwa jaminan sosial yang sesungguhnya adalah pengurusan segala kebutuhan manusia di segala aspek oleh negara. Hal ini hanya bisa diaplikasikan ketika khilafah tegak dan kholifah sebagai pelaksananya, bukan jaminan sosial abal-abal tawaran kapitalis yang meninggalkan setumpuk persoalan.
Wallahu'alam.
Oleh: Mia Annisa
Founder Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi