Tinta Media - Para produsen tahu dan tempe di seluruh Indonesia yang tergabung dalam aliansi bernama KOPTI (Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia), serentak melakukan mogok nasional. Dimulai 21 hingga 23 Februari 2022, mogok berjamaah ini dilakukan oleh produsen sebagai respon terhadap meroketnya harga kacang kedelai.
Saat ini kacang kedelai mencapai Rp11.200 sampai Rp11.500 per kilogram, naik dari sebelumnya Rp9000 per kilogram. Para produsen tempe sangat berharap agar pemerintah, khususnya kementrian perdagangan dan pertanian turun tangan dalam menghadapi krisis kedelai saat ini.
Menanggapi keluhan para produsen tempe dan tahu, pemerintah meminta agar mereka tidak melakukan aksi mogok. Mereka berjanji akan membantu menyelesaikan masalah yang dituntut oleh para produsen tempe dan tahu, salah satunya dengan memberikan subsidi.
Begitulah watak pemimpin saat ini, akan bereaksi ketika ada aksi. Itu pun sifatnya temporer (sementara), hanya untuk meredam tuntutan agar tidak terjadi kegaduhan. Aksi tambal sulam pun dilakukan, tanpa ada solusi yang tuntas untuk menyelesaikan persoalan rakyat. Kebijakan sering berubah-ubah sesuai kepentingan, "Esuk Dhele, Sore Tempe."
Setelah ditelisik, ternyata penyebab terjadinya kenaikan harga kedelai disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya penurunan produksi kedelai di dunia, terjadi kekurangan tenaga kerja dan kenaikan sewa lahan, ketidakpastian cuaca di negeri produsen yang diakibatkan oleh adanya cuaca buruk El Nina di kawasan Amerika Selatan.
Selain itu, penyebab yang lainnya adalah karena negeri tirai bambu menjadikan pasokan kedelai sebagai pakan binatang ternak, sehingga membeli kedelai dua kali lipat kepada Amerika Serikat. Kedelai pun dijadikan sebagai pengganti minyak sawit di beberapa negera, akibat kenaikan harga sawit yang berdampak pada beralihnya masyarakat di Amerika Serikat, Amerika Latin, hingga Eropa pada kedelai sebagai alternatif minyak nabati (soybean oil).
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan terganggunya harga kedelai di dunia, sehingga berpengaruh terhadap banyak negara konsumen, termasuk Indonesia.
Indonesia yang tergantung pada impor dalam banyak komoditas, termasuk kedelai, harus menerima pil pahit akibat adanya permasalahan dari negara importir. Setiap terjadi kenaikan harga kedelai dunia, Indonesia ikut terdampak dan menimbulkan guncangan di dalam negeri, mulai dari pengusaha, pedagang, hingga konsumen tempe dan tahu. Sementara, sampai saat ini belum ada upaya serius dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri dengan melakukan produksi kedelai nasional, baik dengan meningkatkan kuantitas maupun kualitas, dari produksi setiap tahunnya.
Sebenarnya Indonesia mempunyai potensi besar untuk dapat memenuhi kebutuhan kedelainya sendiri, bahkan mampu menjadi negara pengekspor kedelai. Beberapa faktor pendukungnya antara lain: sumber daya manusia (SDM) yang tersedia baik sebagai ahli perkebunan maupun pekerja, lahan yang subur, curah hujan yang cukup, dan sebagainya. Segala potensi tersebut dapat berdaya jika ada kebijakan yang tepat dari para pemangku kebijakan negeri ini, apakah mau melakukan perubahan ke arah lebih baik atau tidak.
Salah satu faktor mengapa Indonesia tidak mempunyai kemampuan untuk menjadi negara yang mandiri pangan, khususnya kedelai adalah liberalisasi perdagangan yang berdampak pada penghapusan bea masuk impor. Hal ini mengakibatkan keran impor begitu deras masuk ke negeri ini. Ini juga diperkuat dengan berkuasanya pemimpinan berwatak neoliberal yang cenderung abai terhadap rakyatnya, tidak mempunyai visi kemandirian negara, hanya mengikuti arahan dan kepentingan kapitalis global, sekalipun kebijakannya akan menyengsarakan rakyat. Fungsi kepemimpinannya hanya sebatas regulator antara rakyat dan para cukong.
Solusi yang komprehensif (menyeluruh) untuk permasalahan ketergantungan terhadap impor dan kemampuan untuk mewujudkan kemandirian pangan hanya satu, yaitu melepaskan diri dari sistem kapitalisme sekularisme liberal, dan menggantinya dengan sistem politik Islam, yaitu Khilafah. Khilafah akan menjalankan sistem perekonomian Islam dan pengelolaan pertanian, serta politik dalam dan luar negeri, berdasarkan syariat Islam. Dalam pandangan Islam, negara khilafah wajib menjadi negara yang mandiri, tidak tergantung dan terikat oleh perjanjian yang bertentangan dengan Islam. Impor dilakukan saat dibutuhkan saja dengan sejumlah ketentuan yang berlaku.
Inilah fungsi pemimpin yang sesungguhnya, yaitu menjaga, melayani, dan mengurus rakyatnya dengan penuh keikhlasan. Tujuannya hanya untuk meraih rida Ilahi. Rasulullah saw. telah menegaskan dalam hadistnya:
"Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR. Muslim dan Ahmad). Wallahu'alam bishawab
Oleh: Iin Haprianti
Sahabat Tinta Media