Tinta Media - Ulama Aswaja sekaligus Mudir Ma’had Darul Ma’arif Banjarmasin Guru Wahyudi Ibnu Yusuf M.Pd. menjelaskan hukum fikih haji dan umrah memakai masker.
“Hukumnya boleh bagi muhrim (laki-laki yang berihram) dan haram bagi muhrimah (perempuan yang berihram) kecuali ada hajat atau udzur yang akan dirincikan di bawah ini,” tuturnya kepada Tinta Media, Senin (14/3/2022).
Menurut Guru Wahyudi, dalil kebolehan muhrim (laki-laki yang berihram) memakai masker adalah karena tidak adanya larangan dari Nabi SAW saat beliau ditanya apa saja yang diperintahkan pada orang berihram. Dari Abdullah bin Umar, seorang laki-laki berdiri dan bertanya pada Rasulullah. Apa yang engkau perintahkan pada kami terkait pakaian yang kami pakai saat ihram?. Nabi kemudian menjawab: "Jangan kalian mengenakan gamis, celana, ‘imamah (sorban/peci), mantel, sepatu kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, dia boleh mengenakan sepatu tapi dipotong hingga berada di bawah mata kaki dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan". (HR. Bukhari)
“Dalil haram bagi muhrimah (perempuan yang berihram) adalah lanjutan hadis yang sama, saat Nabi SAW menyatakan: ’Dan janganlah wanita yang sedang ihram memakai cadar/niqab dan sarung tangan.’ (HR. Bukhari),” jelasnya.
Menuritnya, masker dapat dikategorikan sebagai niqab atau cadar. Ibnul Qayyim menyamakan burqa dan al litsam (penutup mulut) dengan niqab (cadar). (I’lam al-Muwaqi’in juz 2 hal. 293-395). Dalam al-Mishbah al-Munir disebutkan litsam adalah sesuatu yang menutupi mulut. Abu Zaid berkata, jika menutupi sebagain hidung itu namanya niqab. Atas dasar ini maka masker yang dipasang sampai hidung dianggap sama dengan niqab. Maka ia dilarang/diharamkan dipakai muhrimah saat berihram.
“Hanya saja jika ada keperluan seperti sakit atau pandemi seperti saat ini maka boleh memakainya, tidak berdosa namun wajib membayar fidyah. Syaikh Zakariya al Anshari berkata: Orang yang berihram yang mengenakan pakaian yang diharamkan, atau menutup apa saja yang haram ditutup karena hajat seperti panas, dingin atau sakit/pengobatan dan selainnya hukumnya boleh dan membayar fidyah (Asnal Mathalib juz 1 hal. 507),” terangnya.
Guru Wahyudi menyampaikan pendapat Syaikh Ustaimin yang memberikan rincian sebagai berikut:
“Pertama, orang yang melanggar larangan tanpa sebab hajat dan ‘udzur maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah,” jelasnya.
Kedua, lanjutnya, orang yang melanggar larangan karena sebab hajat tertentu maka ia tidak berdosa dan tetap wajib membayar fidyah.
“Ketiga, orang yang melanggar larangan karena ‘udzur, atau karena tidak tahu larangan tersebut (jahil), karena lupa atau karena dipaksa maka ia tidak berdosa dan tidak diwajibkan fidyah. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh ‘Ustaimin juz 24 hal. 433),” imbuhnya.
Guru Wahyudi menjelaskan bahwa fidyahnya bisa dipilih antara berpuasa tiga hari, memberi makan enam orang miskin yang tinggal di tanah haram setiap orangnya setengan sha’, atau menyembelih seekor kambing. (HR. Bukhari),
“Semoga Allah SWT. mudahkan kita melaksanakan haji dan umrah,” doanya menutup penuturan.[] Irianti Aminatun