Harga LPG Naik, Emak-Emak Menjerit - Tinta Media

Rabu, 23 Maret 2022

Harga LPG Naik, Emak-Emak Menjerit

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1YLZ9aCHPNe2rsa5CMZxXS5vYftsOy4WF

Tinta Media - Belum selesai prahara minyak goreng yang harganya selangit kemudian langka, kali ini dapur emak-emak dikejutnya dengan naiknya harga LPG. Secara resmi, kenaikan ini sudah ditetapkan oleh Pertamina pada Minggu (27/2/2022) lalu.

Dilansir dari detikcom, hari Senin, (28/2/2022), pertamina mematok harga LPG 12 kg Rp187 ribu. Namun, ketika di lapangan harga gas LPG 12 kg per tabung eceran bisa mencapai Rp200 ribu atau meningkat 30 ribu dari harga sebelumnya.

Kebijakan kenaikan LPG bukanlah perkara baru. Menurut pengamat perminyakan, Kurtubi, dalam Hermawan (2014), salah satu penyebab tingginya BPP (Biaya Pokok Produksi) LPG adalah inefisiensi di sektor hulu penghasil gas bahan baku LPG (C3 dan C4). Ini karena PT Pertamina membeli LPG dari kontraktor dengan standard harga LPG pasar internasional (CP ARAMCO).

Adapun kenaikan harga LPG saat ini berdasarkan keterangan Irto Ginting, Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T PT Pertamina, disebabkan tren harga Contract Price Aramco (CPA) sebagai acuan harga LPG mengalami peningkatan tertinggi di Bulan November mencapai 847 USD/metrik ton, atau meningkat 57 persen sejak Januari 2021.
Sementara Saudi Aramco (penetap harga CPA) sendiri memang menaikan harga minyak mentah jenis Arab Light untuk pelanggan di Asia pada Desember dari US$1,40 menjadi US$2,70.

Kebijakan ini muncul setelah sehari OPEC+ mengabaikan seruan Presiden Biden untuk meningkatkan produksi minyak, sebagaimana yang dilansir oleh Bloomberg pada Sabtu (6/11/2021).

Oleh karena itu, direktur eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menilai kebijakan menaikkan harga LPG nonsubsidi adalah langkah wajar karena harga LPG di pasar international sedang meningkat signifikan.

Memang benar, menaikan harga LPG, menjual migas kepada rakyat adalah sesuatu yang wajar dalam logika kepemimpinan sistem kapitalis. Sebab, kepemimpinan kapitalis hanya berorientasi pada pencapaian keuntungan materi dengan melakukan komersialisasi dan liberalisasi kekayaan rakyat (SDA).

Dalam Kapitalisme, swasta diberi karpet merah untuk mengelola sumber daya alam (dalam hal ini migas). Eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan, pemurnian, distribusi, bahkan sampai penetapan harga, hampir semuanya swasta memegang kendali. Apalagi industri migas memang high-risk, high-capital, dan high-tech.

Sehingga, ketika swasta menilai perlu menaikan harga migas, maka kebijakan itu akan serta merta diikuti oleh negara. Oleh karena itu, sekalipun sebuah daerah memiliki tambang migas, jangan diharapkan rakyat bisa memiliki dan menikmatinya dengan harga terjangkau, apalagi gratis.

Sangat kontras jika dibandingkan dengan pengelolaan migas dalam sistem Islam yang disebut khilafah. Khilafah adalah institusi penerap Islam kaffah. Sehingga, untuk mengatur kekayaan umat (migas), tidak akan lepas dari koridor syariat.
Dalam Islam, jelas bahwa barang tambang baik yang ada dipermukaan atau di dalam perut bumi, jika kuantitasnya besar, maka tambang tersebut adalah milik umat.

Sebagaimana penjelasan dalam hadis Rasul mengenai tambang garam yang ditarik kembali dari Abyadh bin Hamal sebab tambang garam tersebut terus mengalir (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).

Oleh karenanya, jenis tambang tersebut termasuk kepemilikan umum dan kaum muslimin berserikat atasnya.

Rasulullah ï·º: bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud).

Untuk migas, rakyat tidak bisa menikmatinya secara langsung. Ini karena pengelolaan migas sampai hasilnya bisa dinikmati rakyat, itu memerlukan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar. Maka syariat menetapkan bahwa negaralah yang harus mengelolanya dan mengeksplorasi bahan tersebut. Hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Secara langsung, negara bisa memberikan subsidi migas kepada rakyat sehingga listrik, gas, minyak tanah, LPG dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar bisa dinikmati oleh rakyat secara gratis. Andaikan harus berbayar pun, maka syariat memerintahkan, harga yang dipatok adalah harga biaya produksi.

Khilafah dilarang mengomersilkan migas dan SDA lainnya. Haram hukumnya memberikan kendali kepada swasta. Kika harus mengandeng swasta pun, maka kontrak yang terjalin hanya sebatas ijarah (kontrak kerja).

Namun, khilafah boleh menjual migas ke industi atau mengambil keuntungan maksimal ketika dijual ke luar negeri, jika kebutuhan rakyat akan migas telah tercukupi. Keuntungan hasil penjualan ini akan dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal pada pos kepemilikan umum.

Dana inilah yang nantinya akan digunakan khilafah untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat, seperti biaya kesehatan, pendidikan, keamanan dan lainnya. Dengan kata lain, pembiayaan jaminan pelayanan ini adalah bentuk pengembalian hasil pengelolaan SDA secara tidak langsung kepada rakyat.
Oleh karena itu, dengan mekanisme pengelolaan migas seperti dalam khilafah, akankah rakyat mengalami kegetiran dari kenaikan migas?

Sumber :
Hermawan, Iwan. 2014. “Dasar Penetapan Harga LPG 12 KG dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia”. Artikel Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik. Vol. VI, No. 01

Oleh: Nonik Sumarsih
Mahasiswa Pascasarjana Biologi ITS
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :