Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan ada tiga dampak signifikan ketiadaan khilafah setelah runtuh 101 tahun yang lalu.
“Dari definisi khilafah ada tiga substansi. Pertama adalah ukhuwah islamiyah, yang kedua penerapan syariat secara kaffah, dan yang ketiga adalah dakwah penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Jadi kalau ditanya apa yang paling signifikan yang kita rasakan ini hari dengan tidak adanya Khilafah, ya tiga ini,” tuturnya dalam acara Ekspo Rajab 1443 H: 101 Tahun Tanpa Khilafah, Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam, Puncak Gelaran Ekspo Rajab, Ahad (27/2/2022) via daring.
Pertama, tanpa persatuan (ukhuwah), umat islam yang jumlahnya 1,7 milyar ibarat sapu lidi yang satu persatu mudah dipatahkan. “Dan itu yang kita saksikan, apa yang terjadi di Rohingya, Uighur, Palestina, termasuk di India. Bagaimana bisa saudari Muslimah kita di sana (India) itu begitu dinistakan. Sekedar mencoba untuk menutup aurat saja diperlakukan seperti mereka adalah penjahat besar,” kesalnya.
“Tanpa ukhuwah, umat Islam tidak berdaya. Tidak ada izzul Islam wal muslimin. Kelemahan ini merembet kemana-mana termasuk ketidakmampuan menjaga siar-siar Islam, menjaga simbol-simbol Islam yang mulia. Al-Qur’an dinistakan, dibakar. Di internet kita melihat bagaimana kondisi sobekan al–Qur’an digunakan untuk lab ( mohon maaf) BAB, kita tidak bisa melawan,” tuturnya sedih.
“Nabi Muhammad yang mulia, yang Allah SWT dan para malaikat bershalawat untuknya, dihinakan seperti seolah-olah beliau ini orang yang begitu rupa. Atas hak apa mereka melakukan itu, tidak ada hak apapun, tapi mereka melakukan dan kita tidak bisa melindunginya,” imbuhnya.
Kedua, tidak ada penerapan syariah secara Kaffah. Ketika tidak ada penerapan syariat, umat Islam tetap hidup. Maka gantinya adalah sesuatu yang bukan berasal dari Islam. “Secara ekonomi, kapitalisme, politiknya demokrasi machiavelistik, sikap beragamanya sinkretistik. Jadi umat Islam itu tak ada bedanya dengan umat selain Islam. Kalaupun ada, mungkin tinggal shalat, tinggal pakaiannya. Kalau pakaiannya pun tidak beda, shalatnya pun tidak dilakukan, praktis sudah tidak ada bedanya,” tuturnya dengan sedih.
Ketiga, tanpa Khilafah, dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia tidak bisa dilakukan secara efektif. “Tidak ada dakwah yang efektif yang dilakukan secara langsung oleh Khilafah melalui penerapan syariah, melalui dakwah fikriyah untuk menjelaskan Islam, kemuliaan Islam, keagungan Islam, syariat Islam. Akhirnya tidak sedikit umat Islam yang salah paham terhadap Islam, terhadap syariahnya. Ada yang tidak paham, ada yang salah paham ada yang pahamnya salah,” bebernya.
Oleh sebab itu, UIY berharap agar umat Islam tetap istiqamah menjadi bagian hizbullah.
“Persoalannya kita berada di mana? di posisi hizbullah atau hizbusyaiton. Pilihannya hanya dua. Antara hizbu al-haq dan hizbu al-batil, hanya itu saja. Saya kira kita semua sudah menetapkan hati bahwa kita insyaAllah sampai ajal menjemput akan selalu istiqamah menjadi bagian dari hizbu al-haq atau hizbullah,” tuturnya.
Faktor Perubahan
Bicara tentang perubahan, menurut UIY, ada dua faktor penting yang harus diperhatikan.
Pertama, the rolling power. Sepanjang sejarah peradaban manusia itu selalu ada kekuatan yang dominan kekuatan yang hegemonik, kekuatan yang menguasai. “Kecenderungan dari the rolling power itu pasti dia akan mempertahankan hegemoninya. Dia akan mempertahankan dominasinya. Karena memang begitulah watak manusia. Ada hubu siyadah (cinta kekuasaan),” terangnya.
“Meski mereka berusaha mempertahankan diri dengan aneka macam cara, tapi di saat yang sama mereka juga mengidap penyakit bawaan ‘self destructive’ (menghancurkan diri sendiri) dan itu mereka ketahui,” tambahnya.
Kedua, umat Islam sendiri. Apakah ada cukup kekuatan untuk take over (mengambil alih)? “Mengapa? Karena jikalau ada kesempatan tetapi kita tidak mengambil kesempatan kan tidak akan tercipta gol,” tamsilnya.
“Fokus kita bukan pada faktor eksternal, sebab faktor eksternal itu dibiarkan saja juga akan mengalami proses decaying (pembusukan), baik politik maupun ekonomi. Itu pasti. Kita mesti membangun kemampuan, membangun kekuatan. Bagaimana usahanya dari yang tidak paham menjadi paham, dari yang salah paham menjadi lurus pahanya, meskipun di saat yang sama juga harus berhadapan dengan mereka yang pahamnya salah. Itu kerja kita ini hari,” tandasnya.
Hujjah
UIY mengungkap, ada tiga argumen yang harus disampaikan dalam memahamkan umat.
Pertama , hujjah (argumen) empirik. “Yaitu menjelaskan kerusakan sekulerisme, kapitalisme, demokrasi, agar umat tahu,” ujarnya.
Kedua, hujjah historis. “Harus terus dijelaskan bahwa kita ini umat Islam bukan umat kemarin sore. Risalah Islam bukan risalah kemarin sore. Khilafah itu bukan kemarin sore. Perlu ada penjelasan secara historis bahwa Islam itu adalah sesuatu yang pernah terwujud. Khilafah itu pernah terwujud. Di sinilah pentingnya JKDN (Sejarah Khilafah di Nusantara ) satu, JKDN dua, dan nati JKDN tiga (sedang proses produksi),” terangnya.
Ketiga, ini yang paling penting yaitu menjelaskan bahwa khilafah itu wajib ditegakkan. “Jika khilafah tegak insyaAllah akan terwujud rahmatan lil ‘alamin. Karena memang risalah Islam itu diturunkan oleh Allah tak lain adalah untuk membawa kerahmatan itu. Rahmat itu mewujudkan seluruh maslahat-maslahat dan menghindarkan seluruh mafsadat (keburukan-keburukan). Kerahmatan akan terwujud hanya jika Islam diterapkan secara sempurna melalui tegaknya khilafah Islam,” bebernya.
“Bunga mawar bunga melati, kewajiban janganlah ditawar selalu lah istiqomah sampai mati,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun