Demokrasi Semakin Pincang: Otak-atik Konstitusi demi Melanggengkan Masa Jabatan - Tinta Media

Senin, 21 Maret 2022

Demokrasi Semakin Pincang: Otak-atik Konstitusi demi Melanggengkan Masa Jabatan

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1CuBbD5NieB82iOs2nWs_-WuFKyq7kxxS

Tinta Media - Adanya wacana penundaan pemilu pada 14 Februari 2024 yang dilontarkan tiga ketua umum partai pendukung Jokowi-Ma'ruf, yakni PKB, PAN, dan Golkar, dipicu oleh aspirasi seorang petani kelapa sawit dari Siak Riau, saat berdialog dengan Ketum Golkar. Usulan ini pun didiskusikan dengan anggota DPR, MPR, dan berbagai parpol pendukung rezim maupun parpol kubu petahana, dan mendapatkan 80 persen persetujuan di atas kertas.

Selain itu, Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa banyak dari masyarakat yang mempertanyakan mengapa pemilu yang berdana besar harus dilakukan, padahal pandemi belum usai. Terlebih, iklim politik saat ini sangat tenang dan tidak ingin rusak dengan adanya pemilu, sehingga rakyat tak ingin adanya pergantian kepemimpinan. Mereka hanya berharap perbaikan kondisi ekonomi nasional.

Klaim Luhut tersebut katanya berdasarkan hasil survei Big Data 110 juta warganet yang menginginkan pemilu 2024 ditunda. Akan tetapi, beberapa pengamat medsos mempertanyakan metode apa yang digunakan dalam survei tersebut dan meragukan validitasnya, karena beberapa lembaga survei menyatakan sebaliknya, seperti lembaga survei Litbang Kompas yang bahkan menunjukan hasil survei, bahwa 62.3% setuju pemilu tetap dilaksanakan tahun 2024.

Entah siapa aktor dibalik wacana perpanjangan masa jabatan ini. Yang pasti, untuk memuluskan tujuan tersebut, dibutuhkan dukungan dan kekuatan negara untuk mengubah konstitusi.

Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Zaenal Arifin Muchtar mengatakan tentang konstruksi ketatanegaraan dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa masa jabatan mengikuti agenda selama 5 tahun. Jika ingin mengubah dan menunda masa jabatan serta menunda pemilu, maka diperlukan alasan dan kondisi konstitusional yang jelas. Besarnya dukungan publik serta pandemi ataupun krisis ekonomi, tidak bisa dijadikan alasan untuk mengubahnya. Terlebih krisis ekonomi memang sudah terjadi, bahkan sebelum adanya pandemi Covid-19.

Memang benar bahwa anggaran pemilu menyedot dana yang sangat besar. Bahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan anggaran 86 triliun untuk pemilu 2024, naik 3 kali lipat dari anggaran pemilu sebelumnya.

Wakil ketua DPD, Sultan Najamudin mengatakan bahwa anggaran fantastis ini merupakan jebakan dari sistem Demokrasi Liberal Kapitalisme yang dianut negara kita. Sehingga, dengan digulirkannya wacana penundaan pemilu, akan memperpanjang masa jabatan seluruh anggota di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini jelas menguntungkan mereka karena tidak perlu mengeluarkan dana untuk terpilih kembali, tetapi kekuasaan bisa lebih lama. Kemewahan yang didapatkan saat menjabat akan lebih lama dinikmati.

Seorang anggota DPR saja memiliki fasilitas gaji perbulan tak kurang dari 55 juta, belum ditambah berbagai deretan tunjangan lainnya. Jika dikalkulasi pertahun, seorang wakil rakyat ini akan mengantongi sekitar 1 miliar rupiah di luar dana bantuan staf pribadi dan uang perjalanan dinas. Ini adalah harga mahal yang harus dibiayai negara dari hasil memeras peluh rakyat melalui pajak.

Tak heran jika penundaan pemilu akan membuat semua wakil rakyat "happy" di atas kesengsaraan rakyat. Walaupun presiden mengatakan ia menolak wacana ini, tetapi ia pun menyatakan tidak menutup kemungkinan adanya perpanjangan masa jabatan, dan hal ini tidak boleh dilarang karena negara ini negara demokrasi.

Inilah ketika kekuasaan hanya dimaknai dengan kesempatan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya materi dan berbagai fasilitas hidup. Sehingga, setiap orang berlomba untuk menjadi penguasa dan berdalih akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan menghalalkan segala macam cara, mereka berupaya untuk mendapatkan kursi kekuasaan.

Maka, Pemilu dijadikan sebagai ajang adu kuat modal politik, yang sumbernya berasal dari para cukong dan oligarki. Jika terpilih sebagai penguasa atau wakil rakyat, mereka yang dibiayai harus membalas budi dengan memberikan kebijakan yang menguntungkan pemberi modal, walaupun harus menindas rakyat.

Pemilu yang diklaim sebagai metode baku pergantian pemimpin negara dan para wakil rakyat, dianggap adil karena melibatkan seluruh rakyat, sehingga mampu menyalurkan aspirasi mereka. Padahal, nyatanya praktik pemilu hanya dijadikan alat industri bisnis oligarki. Melalui pemilu, sistem politik demokrasi dipenuhi dengan transaksi kepentingan mengejar kekuasaan dan mewujudkan perwakilan oligarki, bukan perwakilan rakyat. Para calon yang mendapat titipan uang terbanyak, memiliki peluang terbesar memenangkan pesta demokrasi.

Bahkan, besarnya biaya pemilu membuat para calon sangat berambisi untuk menang hingga seringkali menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan politiknya, dari berbuat curang dan menyebarkan berita hoax hingga menciptakan konflik SARA. Money politic serta korupsi pun dijadikan core business (kegiatan utama) untuk meraih target kursi kekuasaan.

Besarnya biaya anggaran untuk menghasilkan pemimpin ini tidak sebanding dengan kualitasnya. Terbukti dengan dihasilkannya pemerintahan yang nihil keberhasilan dalam mengentaskan berbagai persoalan rakyat, karena memang jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah teori yang khayali.

Berbeda dengan Islam yang mendudukan kepemimpinan sebagai amanah. Besar dan beratnya amanah seorang pemimpin menjadikan mereka tidak bisa berbuat sesuka hati. Keberadaannya diangkat untuk menjalankan amanah umat dan Allah Swt., yaitu menerapkan dan melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam mengurusi umat. Jadi, ia bertanggung jawab bukan hanya kepada umat, tetapi juga kepada Allah Swt.

Calon pemimpin bukanlah figur yang gila jabatan dan harta, tetapi terdepan dalam ketakwaan, yang hatinya bersih dari niat jahat, termasuk niat curang dan nafsu berkuasa. Dia akan selalu menempatkan sifat adil dalam memimpin, karena tujuan kepemimpinan dalam Islam adalah menjadikan negeri bertakwa sehingga berkah Allah Swt. tercurah dari langit dan bumi. Tidak ada kepentingan pribadi atau segolongan orang yang mendominasi pelaksanaan kepemimpinannya. Semua berdimensi akhirat, untuk mencapai rida Allah Swt.

Oleh karena itu, ketika pun mekanisme pemilu dipilih dalam mencari pemimpin, maka akan jauh dari praktik-praktik kotor, semisal money politic, suap-menyuap, black campagn, obral janji, dan sebagainya, karena takut terhadap murka Allah. Dia tidak butuh biaya kampanye yang besar untuk pencitraan, karena pribadinya telah memiliki syarat kualitas seorang calon pemimpin, yaitu tujuh syarat in'iqod (muslim, lelaki, baligh, berakal/waras, adil, merdeka, mampu). Kampanye diadakan hanyalah untuk menyampaikan visi dan misi kepemimpinan yang dicanangkan, sehingga dukungan dari umat akan didapat, baik melalui perwakilan atau pun rakyat secara langsung dalam memilih calon pemimpin (khalifah). Dari situ, akan didapat satu calon Khalifah yang akan diba'iat hingga sah sebagai khalifah terpilih.

Adanya batasan maksimal kekosongan kepemimpinan dalam Islam adalah 3 hari, hal ini berdasarkan pada Ijma Sahabat yakni:

Umar Bin Khathab berwasiat, "Jika dalam 3 hari belum ada kesepakatan terhadap seorang khalifah, orang yang tidak sepakat agar dibunuh dan Umar mewakilkan kepada lima puluh orang dari kaum muslim untuk melaksanakan hal itu."

Sehingga, batas ini juga yang akan menjadi batas kampanye hingga terpilihnya seorang pemimpin.

Setelah seorang khalifah terpilih, maka dia yang akan memilih para wakilnya dalam membantu pelaksanaan amanah meri'ayah (mengurusi) umat. Di bawah kepemimpinan khalifah, mereka semua akan selalu mengikuti setiap aturan dari hasil ijtihad yang diadopsi oleh sang khalifah dengan menerapkan seluruh hukum-hukum Allah untuk mengatur umat. Karena politik dalam Islam adalah mengurus umat (ri'ayah su'unil ummah), maka rakyat akan selalu mengawasi setiap pemimpin yang menjadi wakilnya untuk senantiasa menerapkan Syariat Islam.

Aktivitas amar ma'ruf nahi mungkar kepada penguasa dilakukan untuk menjaga agar mereka selalu berbuat adil dan tidak otoriter. Dengan begitu, ia bisa menjalankan tugasnya mengurus berbagai urusan umat dengan langgeng dan menjauhkan dari pergantian kepemimpinan.

"Imam atau khalifah adalah ra'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."(HR. Bukhari)

Wallahu'alam bishawab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :