Cuitan Terkesan Islamofobia, Prof. Suteki: Harus Konfirmasi Agar Objektif - Tinta Media

Senin, 28 Maret 2022

Cuitan Terkesan Islamofobia, Prof. Suteki: Harus Konfirmasi Agar Objektif

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1p0YJ_fRrEB9hAAfslIOJ3X-tOUUCjTpY

Tinta Media - Peristiwa penabrakan Polres Pematang Siantar oleh seorang wanita berhijab ditanggapi oleh cuitan dari twitter Ana Khozanah dan Budiman Sudjatmiko yang terkesan islamofobia, dinilai Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. perlu dikonfirmasi agar objektif.

“Saya merasa kedua cuitan itu memang terkesan memojokkan Islam, seolah-olah ada namanya islamphobia. Saya kira perlu konfirmasi kepada kedua orang tersebut, kita juga harus objektif,” tuturnya dalam segmen Tanya Profesor: Penabrakan Polres Pematang Siantar Digiring ke Opini Radikal, Padahal Ini Faktanya! Kamis (24/3/2022) di kanal Youtube Prof. Suteki.

Menurutnya konfirmasi ini diperlukan untuk mengetahui informasi yang diperoleh keduanya tentang alasan pelaku sehingga bisa membuat twit yang terkesan memojokkan Islam.

“Kita perlu melakukan konfirmasi kedua orang tersebut perihal bagaimana mereka mendapatkan informasi sehingga bisa menyimpulkan bahwa pelaku itu benci polisi karena penyerangan atau pembunuhan terhadap 4-5 orang laskar FPI dan HRS dipenjara, dan ada keinginan pelaku masuk surga,” ujarnya.

Menurutnya, apabila hal ini menimbulkan keresahan di masyarakat maka aparat penegak hukum perlu segera memanggil Budiman Sudjatmiko dan mbak Ana Khozanah untuk dimintai keterangan atau pihak yang merasa dirugikan itu segera meminta penjelasan dari Budiman Sudjatmiko dan Ana Khozanah.
“Saya kira ini yang paling fair yang harus dilakukan,” katanya.

Prof. Suteki menilai cuitan dari Ana Khozanah yang mengatakan pelaku dianggap mempunyai kebencian kepada polisi karena telah bertindak tidak adil atau buruk kepada HRS dan juga pengikutnya di tambah cuitan Budiman Sudjatmiko yang sama terkesan islamofobia itu harus diberantas.

“Membesar-besarkan masalah yang mengarah ke kesan-kesan soal islamofobia harusnya segera diberantas secara langsung oleh semacam BNPT, Densus, dan seterusnya itu termasuk polisi,” ujarnya.

Kemudian jika dicari dalil hukum dan konsekuensi adanya unsur pidana dari kedua twit tersebut, maka ia menjelaskan perlu ada bukti permulaan yang berupa keterangan saksi atau juga keterangan ahli untuk menetapkan keduanya menjadi tersangka, apakah penyebar berita bohong atau fitnah.

“Saya kira, ada atau tidaknya unsur pidana dalam sebuah pernyataan yang dimuat di media sosial itu harus ada bukti permulaan yang cukup selain postingan yang ada di twitter itu. Perlu alat bukti yang lain, misalnya keterangan saksi atau juga berupa keterangan ahli,” ujarnya.

“Itu pun kalau ingin menetapkan keduanya tersangka, apakah itu penyebaran berita bohong, atau apakah itu fitnah. Itu juga keduanya harus dipanggil untuk pemeriksaan pendahuluan,” tambahnya.

Ia menegaskan apabila tuduhannya tidak mendasar, selain dari dua alat bukti, yaitu keterangan dari saksi dan keterangan dari ahli maka harus diusut tuntas.

“Selain ada dua alat bukti yaitu tadi minimal keterangan dari saksi dan juga keterangan ahli, kalau misal tuduhan keji itu tidak mendasar maka harus diusut tuntas agar tidak mencemari nama baik Islam serta tokoh-tokoh Islam,” tegasnya.

Ia mengatakan bahwa polisi yang mempunyai otoritas membuat narasi terhadap suatu kejadian. “Mau menyematkan dari radikalisme , ekstrimisme, terorisme atau tidak, tergantung dari polisi,” katanya.

Ia mengungkapkan polisi menyatakan bahwa aksi pelaku tidak ada kaitannya dengan terorisme. Alasannya karena pelaku ada kekecewaan dengan keluarganya yang tidak mengizinkan rujuk dengan mantan suaminya dan alasan pelaku anak seorang purnawirawan polisi, ini bisa dilacak.

“Polisi menyatakan bahwa ini tidak terkait  dengan persoalan terorisme. Padahal kalau kita lihat secara umum, saya katakan penyerangan seseorang kepada objek vital (kantor polisi) sebagai salah satu karakter dari terorisme. Tapi polisi sudah menyatakan begitu. Siapa yang mau kontra narasi bahwa itu tidak termasuk atau terkait dengan persoalan terorisme,” katanya.

Menurutnya, semua narasi ini dikembalikan kepada pihak polisi. Sebaiknya polisi objektif dalam menangani atau melihat sebuah peristiwa atau kejadian hukum semacam ini.

“Kita bisa lakukan secara fair dan bijak, tidak berat sebelah. Ada upaya tadi, adanya islamphobia yang cenderung itu mengesankan terjadinya pembusukan terhadap agama baik itu apakah yang menyangkut persoalan ajarannya ataupun juga menyangkut soal tokoh-tokohnya,” ungkapnya.

Kendati demikian, ia memprediksikan kedua cuitan itu tidak akan dianggap sebagai delik atau tindak pidana ITE atau pencemaran nama baik maupun penyebaran berita hoax meskipun cuitan itu berbeda dengan keterangan polisi.

“Prediksi saya kedua cuitan itu diperkirakan tidak akan dianggap sebagai delik atau tindak pidana ITE atau pencemaran nama baik maupun penyebaran berita hoax meskipun cuitan itu berbeda dengan keterangan polisi,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :