Tinta Media - Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki S.H., M.Hum. menilai ada Islamofobia yang seharusnya segera diberantas terkait cuitan hoaks Kader PKB Ana Khozanah dan Budiman Sujatmiko dalam peristiwa penabrakan Polres Pematang Siantar oleh seorang wanita muslimah bercadar.
"Kita bisa menangkap seolah-olah disitu ada Islamofobia yang seharusnya segera diberantas," tuturnya pada segmen Tanya Profesor: Penabrakan Polres Pematang Siantar Digiring ke Opini Radikal, Padahal ini Faktanya! Kamis (24/3/2022) di kanal Youtube Prof. Suteki.
“Kita semestinya mengikuti langkah dari Amerika Serikat dan PBB. Setiap tanggal 15 Maret itu ditetapkan sebagai Hari Anti Islamofobia. Tapi kita malah membesar-besarkan masalah seperti itu. Bisa-bisa kita 10 tahun lagi baru akan mempunyai gerakan anti Islamofobia. Karena negara kita ini terlambat terus dengan negara-negara maju," sindirnya.
Menurutnya, perlu adanya konfirmasi kepada Kader PKB Ana Khozanah dan Budiman Sujatmiko. "Kita harus bertindak objektif, perihal dimana mereka mendapat informasi sehingga bisa menyimpulkan bahwa pelaku itu benci polisi karena kesal atas pembunuhan terhadap 6 laskar FPI dan karena Habib Rizieq dipenjara, serta ada keinginan bahwa pelaku ingin cepat masuk surga," ungkapnya.
Kemudian jika hal ini menimbulkan keresahan masyarakat, lanjutnya, maka aparat hukum perlu segera memanggil Budiman Sujatmiko dan Ana Khozanah, untuk dimintai keterangan. Atau pihak yang merasa dirugikan itu segera meminta penjelasan kepada Budiman dan Ana. "Saya kira ini yang paling 'fair' lah yang harus dilakukan," tegasnya.
Ia melanjutkan, ada atau tidaknya unsur pidana dari sebuah pernyataan di media sosial itu harus ada bukti permulaan yang cukup. Selain postingan yang ada di Twitter, perlu alat bukti yang lain, misalnya persoalan keterangan saksi atau juga berupa keterangan ahli.
"Nah itu nanti kalau perlu, misalkan ingin menetapkan keduanya menjadi tersangka, maka harus dilakukan pemeriksaan pendahuluan. Apalagi keduanya sudah menuduh terduga teroris. Itu mudah sekali untuk menyematkan kepada seseorang, apabila ada bukti yang cukup, misal ada saksi saat di sidang, ada keterangan ahli. Ya sudah, dengan 2 alat bukti ini, densus bisa menetapkan seseorang menjadi tersangka. Peraturan ini sesuai dengan amanah Keputusan MK No.21 tahun 2014,” ungkapnya.
Ia menegaskan, jika tuduhan keji itu tidak mendasar, harus diusut tuntas agar tidak mencemari nama baik Islam serta tokoh-tokoh Islam.
"Kalau saya punya prediksi begini, kedua cuitan itu tidak akan dianggap sebagai tindak pidana pencemaran nama baik maupun penyebaran berita 'hoax', meskipun cuitan itu berbeda dengan keterangan fungsi," pungkasnya.[] Willy Waliah