Bahaya Moderat di Balik Narasi Kearifan Lokal - Tinta Media

Kamis, 24 Maret 2022

Bahaya Moderat di Balik Narasi Kearifan Lokal

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1jtZwgSwhq-DocvZmIzvAqQnuGd6GqbHE

Tinta Media - Memang benar, penduduk Indonesia hingga kini masih kental dengan aliran kepercayaan atau animisme. Pemerintah bahkan melegalisasi animisme tersebut dan menjadikannya bagian dari keberagaman adat dan budaya di Indonesia. Keterlibatan pemerintah tersebut menjadikan rakyat Indonesia yang masih berpegang pada kepercayaan aninisme sulit untuk dipisahkan dari kepercayaan tersebut.

Hal tersebut menjadi kontras dengan realita Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Islam datang dan berkembang di Indonesia sejatinya untuk memberantas kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang sesat tersebut. Logikanya, banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang telah memeluk Islam seharusnya menjadikan paham animisme tak lagi berkembang dan tumbuh subur.

Namun, realitasnya tidaklah demikian, terlebih setelah pemerintah sendiri sebagai pengurus rakyat mencontohkan animisme tersebut. Ritual klenik dipertontonkan secara nyata. Kesyirikan dilakukan oleh pemimpin di negara yang katanya bercita-cita menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Praktik klenik kendi atas ritual yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo beserta 34 gubernur se-Indonesia di lokasi Ibu Kota Negara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur adalah salah satunya. Ritual yang disebut sebagai titik nol IKN Nusantara tersebut diisi dengan ritual menyatukan air dan tanah yang dibawa oleh para gubernur dari wilayahnya masing-masing ke dalam kendi. Ritual tersebut kemudian dinamakan ritual Kendi Nusantara.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi tersebut mengundang banyak komentar dari khalayak. Pengamat Politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun misalnya memberi komentar sebagaimana dilansir Kompas.com (14/3). Ubedilah mengatakan bahwa praktik Kendi Nusantara tersebut merupakan sesuatu yang mengada-ada, tetapi diyakini sebagai sebuah hal yang mengandung pesan mistis.

Selain mengada-ada, klaim bahwa praktik klenik tersebut merupakan prosesi adat yang mengandung makna filosofis untuk mengenang selalu asal-muasal nenek moyang dan mempertahankan kearifan leluhur adalah sangat tidak masuk akal.

Sebab, jika yang dimaksud nenek moyang manusia adalah Nabi Adam alaihi salam, semua sumber literatur sepakat bahwa Nabi Adam tidak ada kaitannya dengan praktik klenik, juga tidak pernah mengajarkan ritual mistis seperti itu. Nabi Adam justru mengesakan Allah Swt. dan beribadah serta berdoa hanya kepada Allah Swt, tidak mempersekutukan Allah Swt. dengan sesuatu apa pun.

Jika yang dimaksud adalah warisan pendahulu Indonesia sebelum datangnya ajaran Islam, seharusnya cahaya Islam yang telah menerangi rakyat Indonesia me-nasakh (menghapus) praktik syirik yang diharamkan dalam Islam. Sebab, ajaran Islam mengharuskan pemeluknya yaitu kaum muslimin untuk menyembah hanya kepada Allah dan wajib meninggalkan segala macam aliran kepercayaan yang mempersekutukan Allah.

Belumlah hilang dari benak kaum muslimin atas praktik kesyirikan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, muncul lagi praktik perdukunan lainnya yang lagi-lagi diinisiasi oleh pemerintah, bahkan viral ke mancanegara. Deorang wanita bernama Rara Istiati ditunjuk menjadi pawang hujan di Sirkuit Mandalika pada Minggu (20/3) berdasarkan usulan dari Menteri BUMN Erick Thohir. Dengan penuh keyakinan, pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara MotoGP Mandalika 2022 mempercayakan kepada Rara Istiati untuk mengendalikan hujan agar tak mengguyur Mandalika selama pertandingan berlangsung.

Lagi-lagi hal itu disebut sebagai bagian dari kearifan lokal. Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKB, Maman Imanulhaq pada laman Detiknews.com (21/3)

Lucu memang, di era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih seperti saat ini, negeri yang katanya turut mengikuti perkembangan industri 5.0 masih mempercayai hal-hal yang tak masuk akal seperti itu.

Wajar jika tingkah si pawang hujan yang sempat menjadi bahan tertawaan pembalap asal luar negeri juga membuat Koordinator Laboratorium Pengelolaan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Budi Harsoyo juga ikut tergelitik. Dikutip dari Detiknews.com (21/3), Budi Harsoyo menjelaskan secara ilmiah bahwa sejak tanggal 18-20 Maret 2022, kaidah saintifik TMC sudah diminta untuk dioperasikan di Sirkuit Mandalika, yakni dengan melakukan penyemaian awan, di mana TMC melepaskan bahan semai awan dari unsur kimia yang mampu menjatuhkan hujan di seluruh area sirkuit. Sehingga, sebelum awan-awan hujan mendekat, TMC mencegat dan menjatuhkan hujannya di luar Mandalika.

Bisa disimpulkan bahwa pemerintah di lain sisi telah menggunakan teknologi yang secara ilmiah dapat melakukan pengalihan gerak awan. Dari sini muncul pertanyaan, lantas apa tujuan pemerintah menghadirkan sosok pawang hujan, bahkan aksinya seolah sengaja disorot kamera media?

Tak lain dan tak bukan, langkah pemerintah mulai dari menampilkan ritual kendi, bahkan menghadirkan sosok pawang hujan yang hanya menjadi sebatas gimmick adalah untuk melanggengkan paham moderat. Indonesia menjadi salah satu negeri muslim yang menjadikan isu moderasi beragama sebagai salah satu isu yang di back up oleh kekuatan politik.

Bukan tanpa tujuan, moderasi yang kian massif dipropagandakan melalui tangan-tangan penguasa menunjukkan dukungan penguasa negeri tersebut untuk menjalankan agenda negara-negara Barat untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang kaffah.

Penting kiranya umat Islam memahami bahwa negara Barat, dalam hal ini Amerika Serikat (AS) telah menjadikan Islam sebagai musuhnya kini. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Samuel Huntington dalam buku berjudul Who Are We? The Challenges to America’s National Identity, 2004 yang berhasil meyakinkan George Bush dan pemimpin Barat lainnya bahwa Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama Amerika.

Dalam proposal Rand Corporation juga tercantum rencana busuk AS untuk menghancurkan Islam dengan cara mengotak-kotakkan umat Islam menjadi Islam tradisional, Islam moderat dan liberal, serta Islam fundamental dan radikal.

Indonesia menjadi salah satu negara yang diarahkan oleh AS untuk memelihara Islam Tradisional dan mengokohkan kekuatan Islam Moderat dan Liberal. Lantas, Islam Fundamental dan Radikal dibidik dan dibuatkan skenario fitnah keji. Kelompok Islam radikal lantas diletakkan di barisan ‘penjahat’ yang layak untuk dibenci dan dimusuhi, bahkan dihantam dengan kekuatan undang-undang dan militer.

Nahdatul Ulama (NU) lantas dipilih sebagai Ormas Islam terbesar dan tertua sebagai laskar pejuang untuk memerangi kelompok Islam yang dicap radikalisme. Said Aqil Siradj, saat masih menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di tahun 2021 mengatakan bahwa NU dilahirkan oleh KH Hasyim Asy’ari dengan prinsip Islam moderat dan toleran. NU anti radikalisme, anti ekstrimisme apalagi terorisme. (AntaraNews.com, 20/8/2021)

Praktik klenik dan perdukunan yang dibalut indah atas nama kearifan lokal sejatinya adalah paham moderat. Sebab, paham moderat mengarahkan agar umat Islam tetap mengakui dan bersikap toleran atas perbedaan agama, termasuk mau untuk tetap menjalankan ajaran  animisme sebagai bagian dari pemeliharaan adat istiadat yang ada di negeri ini.

Pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang mengemban Islam moderat. Padahal, paham moderat ini sangat berbahaya bagi akidah umat Islam. Bukannya melindungi akidah umat dari paham-paham menyesatkan, pemerintah justru memberi contoh praktik ritual yang menggerus akidah umat Islam di negeri ini.

Telah sangat jelas dalam Islam, bahwa perbuatan syirik adalah dosa besar yang tidak akan mendapat ampunan dari Allah kecuali dengan bertaubat dan meninggalkan aktivitas kesyirikan tersebut.

Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik). Dan Dia mengampuni (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Ia kehendaki. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (AQ An-Nisa: 48)

Bisa dibayangkan rusaknya akidah umat jika paham moderat tersebut dibiarkan tetap ada dan umat dicekoki dengan paham sesat itu. Seharusnya, seorang pemimpin berkewajiban menjaga dan melindungi akidah umat, bukan justru mengambil peran menyebarkan paham moderat dan terlibat dalam mengobok-obok keimanan umat.

Namun, demikianlah wajah penguasa dalam sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi tegak di atas asas sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan, politik, hingga negara. Jangankan bisa menjadi wadah bagi tegaknya syariat Islam kaffah, demokrasi bahkan akan menghantam segala upaya untuk menegakkan Islam kaffah. Sebab demikianlah adanya, demokrasi sebagai produk pemerintahan negara Barat dijadikan alat untuk menghalangi kebangkitan Islam dan kaum muslimin.

Melihat realita di atas, sudah seharusnya umat Islam menyadari racun mematikan di balik paham moderat, sekaligus memahami bahwa demokrasi takkan pernah bisa melindungi keimanan mereka.

Hanya khilafah sajalah satu-satunya sistem pemerintahan yang berasaskan akidah Islam sehingga penjagaan terhadap akidah umat akan dilakukan. Segala pemikiran, aliran, paham, dan keyakinan yang mengancam akidah umat tidak akan dibiarkan masuk ke dalam benak kaum muslimin. Sebaliknya, penguatan akidah akan terus dilakukan melalui penyenggaraan pendidikan berbasis akidah Islam di segala jenjang. Sebab, tujuan dari khilafah adalah mewujudkan masyarakat yang taat kepada Allah Swt. secara totalitas serta tersebarnya cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.

Oleh: Suriani, S.Pd.I
Pemerhati Kebijakan Publik
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :