Ahmad Sastra: Ilmu Harus Bersifat Radikal - Tinta Media

Senin, 21 Maret 2022

Ahmad Sastra: Ilmu Harus Bersifat Radikal

https://drive.google.com/uc?export=view&id=14boQ0WmbhyRmRjIimPUU6TSxH0EtloeS

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M menuturkan, ilmu itu harus bersifat radikal, jika tidak, akan menjadi lemah dan hanya sekedar informasi.

"Ilmu itu harus bersifat radikal, kalau tidak maka ilmu itu menjadi lemah, bisa jadi bersifat persepsi, atau bersifat informasi dan mungkin bisa jadi hoax," tuturnya dalam acara FGD#29 Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa: Radikalisme dan Terorisme dalam Kontruksi Kebijakan dan Kajian Sabtu (19/03/2022) di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Ia mengatakan, dari sudut pandang filsafat, ilmu itu sendiri bersifat radikal, “Bahwa kita mengkaji ilmu itu memang harus bersifat radikal. Dalam artian tersusun dari akarnya apa? Rantingnya apa? Dan daunnya apa? Jadi suatu ilmu itu harus mengakar,” ujarnya.

Menurutnya, ilmu-ilmu itu bisa dibedakan yang berkaitan dengan alam semesta, manusia dan kehidupan. Karena itu dari konteks ini maka istilah radikalisme itu baik, positif kalau dalam ilmu. Dari aspek filsafat dapat dilihat dari beberapa sisi.

Pertama, dari sisi Otologis. “Bahwa bicara tentang objek apa yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud objek hakiki dari ilmu tersebut. Maka kita bisa melihat secara etimologis radikal itu artinya netral, karena digali dari sisi bahasa dan secara etimologis radikal itu mengacu kepada akar, mengakar dan hal-hal yang sifatnya mengakar berarti radikal," bebernya.

"Jika secara terminologi, radikalisme itu berkaitan dengan upaya mencapai tujuan politik dengan cara kekerasan," imbuhnya.

Kedua, dari sisi epistemologi. "Kata radikalisme kalau dalam timbangan epistemologi itu cara mendapatkan pengetahuan, bagaimana proses munculnya pengetahuan yang berupa ilmu, bagaimana prosedurnya. Kalau didalam Islam sumber ilmu itu dari wahyu dan akal, kalau di Barat itu sumbernya filsafat. Karena filsafat sumber kebenaran itu dari akal saja," jelasnya.

Ia mengutip pendapat dari Profesor Syarif Basuni bahwa justru sulit membuat suatu pengertian yang identik dan dapat diterima secara Universal. "Sulit melakukan atas pengawasan terorisme, oleh karena itu menurut Profesor Bryan Jenkins, terorisme itu merupakan pandangan yang objektif dalam konteks akademik dalam istilah terorisme belum ditemukan titik persamaan definisi hingga sekarang. Jadi di dalam konteks akademik istilah ini sebenarnya masih the bed table," jelasnya.

Ketiga, dari sisi Metodologi. "Filsafat itu sendiri juga bagian dari metodologi berpikir, observasi, analisa, sintesis, pengalaman dan sebagainya. Kemudian filsafat itu metode berpikir tentang pembentukan, penilaian, pembahasan juga berkaitan dengan sistem pemikiran dengan pendekatan ilmiah, maka kita lihat misalnya Studi Islam yang dikaji di barat," terangnya.

"Jadi, kalau dilihat dari sisi etimologis maka radikalisme dan terorisme berasal dari epistemologi barat, ini penting sekali dilihat dari awal karena di kemudian hari dikaitkan dengan agama, itu problem atau masalahnya," ungkapnya.

Keempat, dari sisi Aksiologi. "Hubungan dengan nilai, manfaat, orientasi dan motif maka perkembangannya sampai hari ini maka kita perhatikan dengan baik maka radikalisme dan terorisme lebih mengarah kepada motif politik bukan motif akademik lagi," pungkasnya. [] Emalia
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :