Tanggung Jawab Seorang Penguasa - Tinta Media

Senin, 07 Februari 2022

Tanggung Jawab Seorang Penguasa

Tinta Media - Islam memberikan batasan tegas terkait tanggung jawab seorang penguasa. Baik tanggung jawab yang wajib ia penuhi dalam dirinya dalam kedudukannya sebagai seorang penguasa, maupun  tanggung jawab yang wajib ia penuhi  berkaitan dengan hubungannya dengan rakyat.

Tanggung jawab dalam dirinya  yang harus dipenuhi dalam kedudukannya sebagai penguasa, yang paling menonjol adalah kekuatan, ketakwaan, dan kelemahlembutan terhadap rakyat.

Yang dimaksud kekuatan disini adalah kekuatan sakhsiyyah (kepribadian)  yaitu kekuatan akal  (aqliyah) dan kekuatan jiwa (nafsiyah).

Dengan akalnya, seorang penguasa haruslah mengetahui berbagai hal dan berbagai bentuk hubungan. Jiwanya haruslah jiwa seorang penguasa yang mengetahui bahwa dirinya adalah pemimpin dan mengarahkan kecenderungannya sebagai seorang pemimpin.

Sifat takwa juga harus melekat pada penguasa. Sehingga ia merasa diawasi oleh Allah baik dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan. Hal ini akan mencegahnya bersikap sewenang-wenang kepada rakyatnya.

Meski demikian, takwa tidak akan mencegah dirinya bertindak tegas dan disiplin, sebab ia berpegang pada perintah dan larangan Allah. Di antara tabiat  penguasa  yang digariskan Islam adalah tegas dan disiplin.

Islam juga memerintahkan agar penguasa bersikap lemah lembut pada rakyat, tidak menyusahkan rakyat. Memberi kabar gembira dan tidak menimbulkan antipati rakyat.

Adapun tanggung jawab yang wajib ia penuhi berkaitan dengan hubungannya dengan rakyat, Islam memerintahkan agar penguasa memperhatikan rakyatnya dengan memberi nasehat, mengingatkannya agar tidak menyentuh harta kekayaan milik umum seperti tambang minyak, hutan, tambang emas dan lain-lain. Serta menghukumi  rakyatnya hanya dengan Islam saja, bukan yang lain.

Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar, dia berkata: Aku mendengar Nabi SAW bersabda,

“Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia tidak memperhatikan mereka dengan nasehat, kecuali dia tidak akan mendapat bau surga,” (HR Bukhari).

Terkait dengan mengambil harta kekayaan umum, dikisahkan bahwa Rasulullah menugaskan Ibnu Lutaibah untuk mengurusi zakat Bani Sulaim. Ketika dia sampai kepada Rasulullah serta membuat perhitungan, Ibnu Lutaibah  berkata “Yang ini milikmu, dan yang ini hadiah yang dihadiahkan kepadaku."

Maka Rasulullah SAW berkata, “Kenapa kamu tidak duduk saja di rumah ayahmu dan rumah ibumu, sampai datang kepadamu hadiahmu, jika kamu benar? Demi Allah, tidak seorang pun dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali dia akan menanggungnya pada hari kiamat,” (HR Bukhari).

Ini adalah peringatan yang sangat keras agar penguasa tidak ‘menyentuh’ harta kekayaan milik umum dengan alasan apapun.

Bandingkan dengan penguasa hari ini yang justru menyerahkan harta kekayaan milik umum kepada swasta dan asing. Padahal harta itu milik rakyat.

Sedangkan terkait hukum yang harus dijalankan dan diterapkan penguasa, Islam telah mewajibkan kepada penguasa untuk memerintah dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta memberikan hak padanya untuk berijtihad dalam keduanya.

Islam melarang penguasa dengan larangan yang sangat tegas untuk melirik kepada hukum selain Islam atau mengambil apapun selain dari Islam. Hal ini ditegaskan dalam Qur’an surah al-Maidah ayat 44, 45 dan 47.

Sekalipun seruan ayat-ayat diatas ditujukan kepada Rasulullah SAW, tetapi seruan pada Rasulullah adalah juga seruan pada umatnya. Sehingga seruan ayat di atas ditujukan kepada seluruh penguasa.

Semua tanggung jawab yang telah digariskan Islam ini wajib diemban oleh Penguasa. Jika dia mengabaikan dan tidak menjalankan tugasnya,  kekuasaan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan di hari kiamat serta  mendapat azab pedih di akhirat.

Jika tanggung jawab ini dijalankan oleh para penguasa dijamin rakyat sejahtera, penguasa pun selamat.

Sudah seharusnya para penguasa Muslim hari  ini mengetahui dan mengamalkan tanggung jawab ini agar kekuasaannya tidak menjadi penyesalan  yang tak berkesudahan di akhirat.

Wallahu a’lam bi showab.

 (Disarikan dari Kitab Sakhsiyyah Islam jilid 2,   bab Tanggung Jawab Umum, karya Syaikh Taqiyuddin an Nabhani)

Oleh: Irianti Aminatun
Sahabat Tinta Media 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :