Tinta Media - Transisi energi yang dilakukan Pertamina dinilai oleh Pengamat Ekonomi Politik Salamudin Daeng sebagai langkah yang salah.
"Pertamina sudah salah jalan melakukan transisi energi dengan mencampur minyak sawit fame dengan solar atau solarisasi sawit," ujarnya dalam press rilis yang diterima Tinta Media, Senin (7/2/2022).
Menurutnya, sawit adalah energi terbaharukan, bisa ditanam dan dipanen. “Jalan salah solarisasi sawit ini tampaknya mengikuti agenda para bandar sawit besar".
Ia menengarai adanya kedekatan politik antara Presiden dengan pengusaha sawit. "Tampaknya Presiden memiliki kedekatan politik dengan pengusaha sektor sawit ini,” ungkapnya.
Ia menilai program solarisasi sawit ini berakibat buruk bagi Pertamina. Menurutnya, Pertamina dari sisi keuangan tersandera biaya mahal. "Bayangkan saja Pertamina harus membeli 9-10 juta ton minyak sawit dalam bentuk fame untuk bahan baku pencampuran solar. Jika harga beli Pertamina seharga pasar saat ini, maka nilai belinya mencapai Rp.200 triliun. Darimana uangnya Pertamina?” jelasnya.
Bahaya lain solarisasi sawit yang dinilai oleh Salamudin adalah perubahan dan pemodifikasian kilang.
"Pertamina harus mengubah dan memodifikasi kilang-kilang mereka untuk mencampur sawit dengan solar. Sebagian besar diolah di kilang Cilacap yang dalam tahun 2021 kemarin terbakar dan meledak dua kali dengan sangat menyeramkan,” bebernya.
Salamudin memandang bahwa sawit adalah biang kerok kerusakan hutan nomor satu. Penyebab utamanya deforestasi. Penyumbang utama emisi karbon di Indonesia. “Padahal Presiden Jokowi sebagai salah satu pimpinan COP.26 climate change berjanji pada dunia untuk menghentikan deforestasi atau penghancuran hutan,” pungkasnya.[]'Aziimatul Azka