Tinta Media - Pesatnya perkembangan teknologi sejalan dengan semakin beragam metode perjudian. Dikemas dengan sangat apik, perjudian ini membuat terlena dan tidak sadar bahwa yang dilakukan merupakan hal yang terlarang. Tidak tegasnya pemerintah, semakin memperlancar hal tersebut. Lalu apa yang harus dilakukan?
Apabila dulu perjudian hanya berkutat pada permainan kartu, sabung ayam ataupun yang sejenisnya, tetapi kini judi bisa dilakukan secara online, dikemas secara apik sehingga membuat orang mudah tertarik.
Ada bermacam-macam jenis judi online seperti trading, forex, dan lainnya. Dengan dalih keuntungan berlipat, apalagi dengan waktu singkat, siapa yang tidak akan tertarik?
Walaupun sudah ada UU yang melarang, tetapi nyatanya hingga kini permasalahan tak kunjung usai. Baru-baru ini pemerintah telah memblokir ribuan website yang terindikasi perjudian online.
Dikutip dari tirto.id (02/02/2022), Kepala Bapetti Indrasari Wisnu Wardhana menyatakan bahwa sepanjang tahun 2021, Bapetti bekerja sama dengan Kementerian Teknologi dan Informatika telah memblokir 1.222 domain situs web perdagangan berjangka komoditi tanpa izin dan judi berkedok trading.
Walaupun sudah ribuan situs terblokir, tetapi nyatanya situs web lain masih bermunculan. Belum lagi aplikasi yang bisa didownload dan diinstal. Hal ini semakin menunjukkan tidak tegasnya pemerintah dalam menangani perjudian.
UU yang berlaku pun hanya dijadikan sebuah aturan, bukan untuk dipatuhi. Selain itu, tidak sejahteranya masyarakat, membuat mereka gampang tertarik dengan hal yang berdalih cepat mendapatkan keuntungan.
Tidak heran, dalam sistem saat ini kesejahteraan masyarakat bukanlah yang utama. Asas halal haram tidak dipertimbangkan. Aturan dibuat hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan korporasi. Maka wajar jika rakyat berbondong-bondong mengikuti tren perjudian ini, karena rupiah yang menggiurkan.
Padahal sudah jelas, judi dilarang di dalam Islam. Judi merupakan suatu permainan yang menjanjikan keuntungan tanpa melalui cara yang wajar sebagaimana dituntunkan oleh hukum syara’. Judi bisa juga disebut sebagai praktik untung-untungan. Bahkan, judi lebih berbahaya dari riba. Sebagaimana Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Kerusakan maysir (di antara bentuk maysir adalah judi) lebih berbahaya dari riba. Hal ini karena maysir memiliki dua kerusakan : (1) memakan harta haram, (2) terjerumus dalam permainan yang terlarang.
Maysir telah benar-benar memalingkan seseorang dari zikrullah, dari salat, juga mudah timbul permusuhan dan saling benci. Oleh karena itu, maysir diharamkan sebelum riba.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39:406)
Untuk benar-benar menghilangkan praktik perjudian, tidak cukup hanya dengan UU yang pada dasarnya buatan manusia. Perlu tindakan tegas supaya para pelaku jera dan tidak akan ada pelaku lainnya. Hal ini bisa dilakukan apabila sistem Islam diterapkan dalam naungan negara khilafah. Dalam sistem Islam, hukum yang digunakan merupakan buatan Sang Pencipta, yaitu Allah Swt. Sedangkan yang melaksanakannya adalah pemimpin negara (Khalifah).
Untuk kasus perjudian ini, ketentuan pidana yang diberikan oleh negara yaitu dalam bentuk ta’zir. Hal ini karena pelaku kemaksiatan yang tidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau hak manusia.
Pengambilam keputusan hukum disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dan tidak boleh melawan nash-nash syara. Hukuman ta’zir yang dilakukan yaitu hukuman mati atau hukuman cambuk. Dengan begitu, akan timbul efek jera, baik bagi pelaku atau masyarakat lainnya.
Selain itu, penguasa harus memastikan kesejahteraan semua masyarakat karena hal tersebut merupakan tugas utamanya. Dengan demikian rakyat tidak akan tertarik untuk mengais rupiah dengan jalan pintas. Wallahua'lam bishowab.