Tinta Media - Menyikapi beralihnya hukum yang diterapkan dari hukum Allah menjadi hukum sekuler, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum menjelaskan bahwa bangunan hukum itu terdiri dari empat aspek.
“Bangunan hukum itu terdiri setidaknya ada empat aspek. Pertama, aspek ideologi, yang kedua aspek peraturan hukum, yang ketiga struktur masyarakatnya dan yang keempat itu menyangkut aspek fisik terkait juga tentang kelembagaannya,” tuturnya dalam acara Rajab Expo 1443 H: 101 Tahun Tanpa Khilafah, Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam, Puncak Gelaran Ekspo Rajab, Ahad (27/2/2022) via daring.
Menurutnya, dari empat aspek ini yang paling utama adalah ideologi. “Begitu ideologi berubah, akan mengubah empat aspek tadi,” tegasnya.
Dari aspek peraturan Prof. Suteki menegaskan, peraturan hukum yang semula syariah oriented, kemudian mengarah kepada secular oriented. “Jadi, mengarah pada hukum atau peraturan yang sifatnya sekular yang memisahkan antara kehidupan duniawi dengan kehidupan ukhrawi. Itu dipisah betul. Bahkan memisahkan urusan pemerintahan dengan agama. Orang sering mengatakan kita kan bukan negara agama, tapi Indonesia sebagai religius nation state di mana pancasila bagi bangsa Indonesia, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu kalau dalam bahasa hukum disebut recht idee (bintang pemandu),”paparnya.
Ketika hukumnya tadi, lanjutnya, sudah berubah menjadi hukum sekuler, apalagi ditambah dengan demokrasi, maka hukum itu tidak lain hanya konsensus-konsensus, kesepakatan-kesepakatan. Dari syariah oriented menjadi secular oriented, pada kesepakatan kepentingan-kepentingan.
“Siapa yang kepentingannya besar, didukung oleh sumber daya yang cukup kuat, hukum akan tunduk di bawah kekuasaannya, yang kalau sekarang kita sebut oligarki. Pengpeng (pengusaha dan penguasa) menyatu,” tandasnya.
Prof. Suteki melanjutkan, lalu persoalan struktur sosial, dari ummatan wahidah menjadi nation state.
“Ummatan wahidah kalau saya maknai itu umat yang satu. Umat Islam itu satu katanya, menjadi satu tubuh. Tapi kalau kita lihat sekarang menjadi nation state, jangankan antar negara yang satu dengan yang lain, kelompok yang ada dalam Islam antara HTI, FPI, Persis, NU, Muhammadiyah itu beda-beda. Benderanya beda-beda. Boleh nggak? Boleh. Tapi mestinya ada satu bendera yang mengikat, apa yang kita kenal dengan bendera Rasulullah itu. Bendera Islam al Liwa atau ar Rayah,” jelasnya.
“Ini yang saya katakan tadi, jangankan ngomong nation state, ngomong kelompok-kelompok di dalam saja, kita bercerai-berai dan bahkan saling menuduh satu sama lainnya, yang mestinya itu tidak perlu dilakukan,” tambahnya.
Dari sisi persoalan fisik kelembagaan hukum, menurut Prof. Suteki, kalau umat Islam berhukum dengan hukum Islam itu kan simple. “Kita ini hukum nasionalnya rumit bukan main. Ada pengadilan tingkat pertama, tingkat kedua, ada ketiga. Satu kasus itu bisa 5 sampai 10 tahun baru kelar. Apalagi masalah perdata. Jadi kalau kita mengikuti ajaran Islam, pengadilannya satu, dengan memberikan hakim yang hebat, yang dididik menjadi hakim ahli surga,” ungkapnya.
Menurutnya, semua tergantung dari umat Islam sendiri, maunya bagaimana. Kalau keterpecahan, keterbelahan itu terus dipelihara, tidak punya visi yang sama bagaimana membangkitkan kembali peradaban Islam, ya tidak akan bisa bangkit.
“Tapi jangan melupakan upaya-upaya dari kelompok-kelompok yang memang punya keteguhan untuk tetap konsisten, istiqamah di jalan kebenaran memperjuangkan kembali agar peradaban Islam itu bangkit tegak kembali,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun