Tinta Media - Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua dinilai oleh Pengamat Politik Islam dan Militer Dr. Riyan, M.Ag sebagai bagian dari separatisme tersistematis.
“Sangat jelas apa yang terjadi saat ini adalah bagian dari sparatisme secara sistematis. Dari awal saya tidak setuju dengan istilah KKB karena memang faktanya itu bukan sekedar kriminal seperti merampok atau mencuri,” tuturnya di acara Dialogika Peradaban, Papua Kembali Membara, KKB masih Dianggap Sahabat? Sabtu (29/1/ 2022) di kanal YouTube Peradaban Islam.
Riyan melanjutkan, evaluasi yang dilakukan Kapolda Papua 2021 lalu, data menunjukkan ada 92 kasus penembakan, 44 meninggal, 15 diantaranya anggota TNI dan polri. Ditambah dengan yang baru, ini menambah daftar panjang konflik Papua. “Saya menyebutnya ini separatis,” tegasnya.
“Apa yang terjadi di Papua bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul. Ini bagian dari proses panjang. Sebagaimana teman-teman LIPI yang melakukan riset tahun 2009 selama 4 tahun, setidaknya ada 4 persoalan yang menjadi akar masalah Papua,” paparnya.
Empat persoalan tersebut, lanjut Riyan, pertama terkait status sejarah dan poliik integrasi Papua dengan PPR (Penentuan Pendapat Rakyat) yang ini menjadi titik masuk untuk menjadikan pembenaran terhadap apa yang dilakukan hari ini.
“Kedua, Kekerasan dan pelanggaran HAM sejak 1965 yang nyaris nol keadilan. Ketiga, terkait dengan diskriminasi dan marginalisasi orang Papua di tanahnya sendiri. Keempat, kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat,” tuturnya.
Kalau kita coba sederhanakan, lanjutnya, akar masalahnya adalah adanya ketidakadilan yang melahirkan separatisme,eksploitas, rasisme dan keterlibatan Asing yang tidak bisa dipisahkan.
Menurutnya, solusi masalah ini harus komprehensif. “Kalau beranjak dari hasil temuan teman-teman LIPI, saya kira memang komprehensifitas harus benar-benar dilakukan oleh Pemerintah. Dalam hal ini dengan melakukan suatu posisioning, kasus ini tidak boleh lagi dianggap sebagai sekedar kriminalitas seperti yang ada,” paparnya.
“Harus ada ketegasan bahwa ini memang separatis. Ada kepentingan Asing yang sudah berakar lama terutama hari ini dengan keberadaan Amerika, Inggris, dan faktor baru Cina mungkin bisa didiskusikan, ini menjadi faktor penting,” tukasnya.
Solusi komprehensif dimaksud, menurut Riyan adalah meletakkan persoalan separatis harus dilakukan di semua aspek, ekonomi, hukum. Tapi yang lebih penting adalah aspek pendekatan militer tanpa harus ragu-ragu, maupun aspek budaya yang pada ujungnya bagaimana kita meletakkan mereka sebagai bagian integral pembangunan manusia. Bukan sekedar dianggap sebagai angka atau sesuatu yang sifatnya fisik.
“Islam memiliki suatu pengalaman yang sangat damai ketika menyelesaikan persoalan. Bahkan ketika Islam pertama kali datang di Papua justru yang memberi jalan pada agama lain untuk melakukan misi-misi itu. Artinya, Islam itu memberikan sebuah payung sangat luar biasa yang senantiasa komprehensif dan berkeadilan,” imbuhnya.
Misal dari dana, lanjutnya, kalau berdasar penjelasan Menteri Keuangan itu justru pemerintah akan mengucurkan dana otsus (otonomi khusus) itu kurang lebih 235 triliun ke Papau hingga 2041.
“ Porsi dana otsus Papau Barat bakal naik dari 2 % menjadi 2,25 % dari dana alokasi umum. Sehingga total yang akan dikucurkan hingga 2041 itu sampai 236 triliun. Sementara yang sudah dikucurkan selama ini tidak kurang 146 triliun. Kalau menurut Dirjen Otda Kemendagri, ada 146 lebih triliun sejak 2002 – 2021,” terangnya.
Artinya, lanjut Riyan, tentu kalau tadi ada potensi tidak sampai karena kasus korupsi, tidak sampai dalam kontek membangun jiwanya, bukan sekedar raga, maka ada benang merah di situ.
“Islam memberikan pengalaman yang damai pada konteks ini tapi penuh ketegasan. Pada saat yang sama berkeadilan,” sambungnya.
Menurut Riyan, memberdayakan elemen-elemen utama, itu juga penting. Karena Papua dan Papua Barat tidak identik dengan agama tertentu dalam hal ini non muslim.
“Disinilah pentingnya komunikasi politik untuk melakukan sebuah pijakan yang komprehensif. Tidak hanya elitis dari Jakarta saja. Jakarta harus arif dalam melihat orang-orang di sana, partisipasi masyarakat harus dilibatkan terutama Muslim maupun non muslim agar mereka bisa menemukan jalan itu,” paparnya.
Saya kira kedepan kita tetap punya politik hope. Dan ini yang harus kita bangun agar ke depan menjadi lebih optimis untuk Papua. “Lebih priotitas ini daripada ribut- ribut masalah kepindahan ibu kota sampai isu jin dan segala macam,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun