Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik Dr. N. Faqih Syarif Hasyim, M.Si. menyampaikan bahwa Islam mempunyai pandangan hidup yang jelas dan jernih. “Islam memiliki pandangan hidup yang jelas dan jernih karena berasal dari Allah SWT Pencipta Manusia dan Alam Semesta, pastilah yang paling tahu aturan yang cocok dan pas bagi manusia,” tuturnya pada Temu Tokoh & Bedah Buku Kritik Kapitalisme: Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam di kanal YouTube Kaffah Channel, Ahad (20/2/2022).
Ia menyampaikan bahwa Allah memerintahkan sesuatu bukan untuk menyusahkan manusia, sebab di balik perintah itu akan banyak ditemui rahasia-rahasia yang membahagiakan manusia. “Masalah rahasia itu Allah-lah yang lebih tahu, sedang manusia tidak mengetahuinya,” paparnya.
Ustadz Faqih menjelaskan apa yang terjadi dari manusia atau terjadi padanya di wilayah yang menguasai manusia, maka manusia menyifati perbuatan itu dengan baik atau buruk mengikuti kesukaan atau ketidaksukaan, atau manfaat dan kerugian. “Tetapi sifat ini tidak berarti bahwa itu merupakan sifat perbuatan itu yang sebenarnya. Kadang-kadang manusia memandang sesuatu sebagai baik padahal dia buruk. Dan kadang manusia memandangnya buruk padahal dia baik,” jelasnya.
Selain Islam, ia menyebutkan adanya ideologi lain. “Ideologinya disebut kapitalisme,” ungkapnya.
“Aqidahnya disebut sekulerisme. Metode penyebarannya adalah penjajahan (Imperialisme). Sistemnya disebut demokrasi, yang didasari oleh ide kebebasan. Falsafahnya disebut liberalisme dengan kecenderungan individualismenya. Persepsi kehidupannya disebut kemanfaatan (utilitarianisme),” jelasnya lebih lanjut.
Pengaruh ideology sekulerisme
Ustadz Faqih menyayangkan kondisi pendidikan di Indonesia justru terpengaruh oleh pemikiran ideologi sekulerisme atau kapitalisme. “Pemikiran sekuler masuk melalui kurikulum pendidikan,” ungkapnya.
Dia memberikan analsisis atas pengaruh ideologi sekulerisme terhadap dunia pendidikan Islam. “Pengaruh liberalisme dan neoliberalisme terhadap dunia pendidikan Islam dapat dikemukakan sebagai berikut,” tuturnya.
Pertama, Pandangan terhadap anak didik. “Anak didik dipandang sebagai “miniatur” orang dewasa. Ini merupakan pengaruh nyata dalam filsafat Barat, akibatnya perilaku para guru di beberapa pendidikan Islam sekarang ‘jauh’ dari ‘mendidik’, dan lebih pada sikap ‘pembiaran’; perintah dan larangan yang seharusnya menjadi instrumen penting pendidikan tidak digunakan lagi,” bebernya.
“Dalam Islam, ‘perintah dan larangan’ adalah substansi pendidikan. Islam memandang anak didik sebagai makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya yang memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal. Ada hadis Nabi saw yang menyatakan, bahwa anak-anak perlu diajari, dibimbing untuk shalat pada waktu umur 7 tahun, dan bahkan diperingatkan dengan keras pada umur 10 tahun,” lanjutnya.
Kedua, Orientasi Pendidikan. Lembaga pendidikan Islam sekarang lebih pada orientasi yang bersifat transfer of knowledge and skill dalam mengembangkan proses intelektualisasi, dan kurang perhatiannya dalam pembentukan ‘qalbun salim’, dengan berupaya terwujudnya generasi yang memiliki “bastatan fi al-ilmi wa al-jism”, yang diliputi oleh spiritualisasi dan disiplin moral yang islami. “Pada akhirnya wawasan pendidikan agama menjadi terbelah, di satu pihak mengarah kepada ‘priestly religion’ (agama kewalian), dan di lain pihak mengarah kepada ‘prophetic religion’ (agama kekayaan). Pendidikan agama kerapkali hanya dipahami esensinya, tapi tidak dipahami substansinya,” jelasnya.
Menurutnya konsep pendidikan Islam mementingkan SDM yang berkualitas. “Sekaligus mementingkan kualitas kehidupan duniawi dan ukhrawi secara integral,” tuturnya.
Ketiga, Lembaga Pendidikan (pesantren/madrasah). “Kebebasan sebagaimana paham liberalisme telah merasuk dinding-dinding madrasah, bahkan telah meracuni pemikiran para siswa maupun mahasiswa Islam. Kedisiplinan telah hilang pada pendidikan madrasah, lembaga ini sudah merasa sulit untuk menerapkan disiplin secara baik, bahkan sanksi dalam pendidikan sudah tidak mudah untuk dilakukan. Lembaga pendidikan yang sudah tidak dapat menerapkan pendidikan kedisiplinan, maka ia telah kehilangan fungsi pendidikannya yang sejati,” bebernya.
Keempat, guru, metode, dan lainnya. Menurutnya fungsi guru telah diganti menjadi fungsi tutor. “Guru tidak lagi dapat menjalankan fungsinya untuk membentuk dan menanamkan nilai-nilai keislaman. Mereka kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri seseorang lewat berbagai cara, metode, media, dan forum,” lanjutnya.
Kelima, kompetisi dan komersialisasi, telah mempengaruhi eksistensi lembaga pendidikan Islam, baik pada sekolah Islam, madrasah maupun pesantren.
“Beberapa pesantren telah bergeser dari tradisi nilai luhurnya dengan memberikan pilihan cost asrama yang berjenjang dari yang rendah sampai dengan tarif hotel. Sedang kompetisi antar madrasah maupun pesantren telah terjadi tanpa memberikan pelayanan yang memadai, berbagai brosur atau iklan dicetak besar-besar, bahkan spanduk dipasang di berbagai sudut jalan untuk dapat menarik konsumen, sehingga fungsi pendidikan Islam telah berubah dari fungsi dakwah Islamiyah menjadi sebuah trading,” ujarnya.
“Di sinilah pentingnya pendidikan Islam dalam bingkai sistem Islam yang paripurna bukan dengan sekulerisme dan kapitalisme pendidikan, dengan tegaknya peradaban Islam yang agung melalui Khilafah Ala Minhaj an-Nubuwwah,” pungkasnya. []Raras