Tintamedia.web.id -- Guruku tersayang, guru tercinta, tapamu apa jadinya aku. Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal, guruku terima kasihku.
Guru adalah pelita, sang cahaya di tengah kegelapan. Kewajibannya telah tertuniakan, hak-haknya terabaikan. Itulah yang didapatkan oleh seorang guru yang bernama Pak Munir. Beliau adalah honorer yang dulu pernah mengajar dari tahun 1996-1998 di SMPN 1 Cikelet, Garut.
Setelah sekian lama tidak diberikan hak-haknya, kemarahan yang dirasakan oleh marbot masjid itu (Pak Munir) memuncak, tepat pada pada hari Jum’at, 14 Januari 2022 sekitar pukul 11.30 WIB. Pak Munir melakukan aksinya dengan membakar sekolah tempat beliau mengajar, dengan alasan sekolah tak memberinya gaji selama beliau mengajar (Tribunnews.com, 29/01/2022).
Meskipun Pak Munir dibebaskan lewat restorative justice dan diberikan hak/gajinya sebesar Rp6 Juta, tetap saja hati ini sedih dan sakit melihat kondisi guru-guru di negeri ini. Bukan hanya satu Munir yang tak diberikan hak-haknya, tetapi begitu banyak Munir-Munir lain yang tidak mendapatkan hak-hak mereka.
Penguasa di negeri ini menuntut rakyatnya melakukan kewajiban, tetapi lupa, bahkan pura-pura lupa akan kewajiban untuk memberikan hak kepada rakyat. Apalagi berkaitan dengan guru, harusnya pahlawan tanpa tanda jasa itu adalah orang pertama yang dipedulikan, diberikan kesejahteraan. Akan tapi, faktanya guru di negeri ini malah ditelantarkan.
Mereka yang harusnya istirahat setelah mengajar dan mendidik, faktanya harus melakukan pekerjaan lain yang bisa membantu keberlangsungan hidup. Ada yang menjadi petani, buruh tani, nelayan, tenun, dan pekerjaan lain yang bisa membantu kehidupan mereka. Kalau menunggu gaji mengajar, hasilnya tidak pasti, kadang ada, kadang tidak. Itu pun tidak bisa mencukupi kehidupan mereka. Gaji penguasa di negeri ini hitungannya puluhan juta, sedangan gaji guru sangat menyedihkan.
Inilah bukti kegagalan sistem pendidikan di Indonesia dalam memberikan hak-hak guru. Bahkan, status guru sebagai honorer penuh dengan ketidakjelasan.
Hari guru yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 25 November, hanya formalitas semata. Itu sebabnya, sistem kapitalisme tidak bisa dipercaya lagi. Semuanya cacat dalam setiap sisi. Sistem ini menciptakan krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan.
Ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Guru adalah pengajar dan pendidik dalam kebaikan. Guru memiliki kedudukan yang tinggi dan sangat dimuliakan dalam Islam. Harusnya, semua orang menghormati dan memuliakannya.
Negera wajib memberikan kesejahteraan terhadap guru. Coba kita lihat sejarah Islam di masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. Beliau sangat memperhatikan pendidikan, memberikan kesejahteraan pada guru.
Dalam buku “Fikih Ekonomi Umar bin Khattab ra.” karangan Dr. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, beliau memberikan gaji pengajar sebesar 15 dinar setiap bulan. Dinar merupakan mata uang yang terbuat dari logam mula emas. Satu dinar setara dengan 4.25 gram. Dinar adalah mata uang yang tahan banting terhadap inflasi. Kalau kita hitung, 15 dinar x 4.25= 63.75 gram emas. Kalau kita hitung lagi dengan harga emas Antam saat ini senilai Rp935 per gram. Maka 63.75 x 935= Rp59.606.250/bulan.
Dalam sistem kapitalisme, gaji guru sebesar itu hanyalah mimpi. Hanya sistem Islamlah yang mampu memberi gaji sebesar demikian. Guru wajib diberikan kesejahteraannya. Karena itu, kembalilah pada sistem yang datang dari Sang Pencipta, yaitu sistem Islam. Peraturan yang ada di dalamnya sangat komplit dan bisa menyelamatkan manusia dunia dan akhirat.[]
Wallahu ‘alam.
Oleh:Sumiyati HA
(Guru, Member AMK, Pemerhati Umat)
Rabu, 09 Februari 2022
Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.