Kisruh JHT, Buruh Kembali "Dikerjai" - Tinta Media

Minggu, 20 Februari 2022

Kisruh JHT, Buruh Kembali "Dikerjai"

https://drive.google.com/uc?export=view&id=18Ptgk8I0YM6ZlTdJ95UzgdyNIf2m_J4B

Tinta Media - Belum usai menuai polemik publik tentang statement upah minimum Indonesia yang terlalu tinggi, Menaker Ida Fauziyah kembali menjadi sorotan lantaran menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Permenaker yang mulai diberlakukan Mei mendatang ini, banjir penolakan lantaran regulasi pengambilan dana JHT  hanya bisa dicairkan saat usia buruh mencapai 56 tahun.

Menghadapi penolakan publik yang cukup massif, Stafsus Menaker, Dita Indah Sari menjelaskan bahwa JHT bersifat old saving (simpanan hari tua). Adapun jika buruh ingin mencairkan dana program saat kehilangan pekerjaan, pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan menawarkan program baru, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) (cnnindonesia.com, 12/2/22).

Pernyataan ini kemudian mendapatkan kritikan dari pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro, bahwa JKP secara hukum tidak bisa menggantikan JHT. Pasalnya, UU Ciptaker yang menjadi payung hukum PP nomor 37 tahun 2021 tentang JKP, dalam keadaan beku akibat putusan MK. Putusan MK pada November 2021 lalu menyatakan bahwa UU Ciptaker Inkonstitusional bersyarat, artinya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai atau tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun (mkri.id, 25/12/21).

Lagi-lagi yang menjadi tumbal kebijakan adalah rakyat kalangan bawah, dalam hal ini kaum buruh. Pernyataan Menaker tahun lalu, menyoal upah minimum Indonesia yang terlalu tinggi sehingga mengakibatkan sebagian besar pengusaha tidak mampu menjangkaunya, semakin menegaskan bahwa dalam sistem perpolitikan demokrasi kapitalisme, kepentingan para pemilik modal di atas segalanya, meski harus mencederai undang-undang buatannya sendiri atau mengorbankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Kisruh perburuhan akan terus ada, selama akar masalahnya masih ada, yakni diberlakukannya sistem demokrasi kapitalisme yang senantiasa memihak kepada kaum kapital. Konflik kepentingan antara pengusaha dan kaum buruh merupakan keniscayaan di dalamnya.

Di satu sisi, pengusaha ingin menjaga keberlangsungan usaha mereka, melalui keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menekan upah buruh, sedangkan kaum buruh sendiri berupaya menjaga keberlangsungan hidup dan kesejahteraan dengan menuntut upah yang layak. Hal ini sangat lumrah, karena di alam kapitalis, perangkat penunjang kesejahteraan berupa sandang, papan, pangan, keamanan, kesehatan, pendidikan yang layak harus diupayakan sendiri oleh rakyat. Negara dalam hal ini hanya berperan sebagai regulator.

Jika hari ini upah buruh habis untuk memenuhi kebutuhan pokok, baik kebutuhan dasar atau komunal, maka jelaslah kesejehteraan hanyalah sebuah mimpi. Bagaimana bisa sejahtera, upah yang diterima saja kurang layak? Sudahlah upah minimun, sedangkan jumlah kebutuhan maksimum, masih dijadikan tumbal kebijakan negara yang tak memihak kesejahteraan buruh lagi. 

Berbagai kebijakan dalam urusan perburuhan selalu mementingkan pengusaha, meskipun jutaan buruh menderita. Selama sistem politiknya masih sama, negara berlepas tangan terhadap pemenuhan tanggung jawabnya. Selama ini, pengusaha senantiasa menjadi anak emas sedangkan buruh terus menjadi bulan-bulanan untuk dikerjai.

Ini berbeda jauh dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa hal-hal yang terkait dengan pekerjaan, merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh pekerja dan pengusaha. Keberadaan daulah Islam menjamin terlaksananya hak dan kewajiban, baik bagi pengusaha maupun pekerja. Hubungan yang dibangun antara pekerja dan pengusaha harus saling menguntungkan. Jika terjadi kezaliman, maka negara menyediakan pakar yang berkompeten dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Negara menjamin bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dalam kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Inilah gambaran daulah Islam dalam menangani persoalan perburuhan. Negara adalah penanggung jawab urusan umat, termasuk ketika ada sengketa pengusaha dan buruh. Negara bekerja untuk melayani dan mewujudkan kemaslahatan rakyat, menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, dan papan, maupun kebutuhan komunal berupa keamanan, kesehatan, pendidikan.

Maka, sudah seharusnya kita semua bahu-membahu dan bersatu untuk terus berjuang, mengopinikan solusi yang benar, membangun kesadaran di tengah-tengah publik tentang akar masalah yang hakiki, sehingga tidak salah dalam menyuarakan solusi. Tentu kebenaran sejati hanyalah milik Allah Rabbul Alamin, bukan akal manusia yang lemah dan serba terbatas. Wallahualam

Oleh: Naning Prasdawati, S.Kep., Ns.
Perawat
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :