Tinta Media - Merefleksi keruntuhan khilafah 101 tahun yang lalu, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan, Islam itu tinggi, tetapi ketinggian Islam itu ketinggian yang bersifat dinamis.
“Islam memang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari islam. Tetapi ketinggian Islam itu adalah ketinggian yang bersifat dinamis . Dalam arti secara faktual dia bisa tinggi tapi juga bisa kemudian jatuh sebagaimana yang kemarin kita saksikan,” tuturnya dalam acara Puncak Gelaran Ekspo Rajab 1443H: 101 Tahun Tanpa Khilafah, Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam, Ahad (27/2/2022) via daring.
Menurutnya, khilafah adalah adikuasa pada masanya. Khilafah telah mencetak satu sejarah luar biasa, peradaban agung, peradaban Islam. Para sejarawan menyebut setidaknya 700 tahun. Tapi kalau kita hitung semenjak masa Rasulullah sampai runtuhnya khilafah Utsmani, bukan hanya 700 tahun. Lebih dari itu bahkan sampai 1400 tahun kegemilangannya telah dicatat oleh tinta sejarah.
“Karen Armstrong yang pada mulanya adalah nonmuslim dia menyebut kehebatan atau keagungan peradaban Islam itu dengan cara menunjuk sesuatu yang yang lain, yang berbeda. Dia katakan bahwa: jangan lagi umat Islam, orang Yahudi saja kata dia, itu menikmati masa keemasan di bawah Islam di Andalusia. Itu orang Yahudi, bagaimana dengan kita umat Islam,” paparnya.
UIY menjelaskan ada dua faktor penyebab khilafah bisa runtuh yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor-faktor internal yang membuat peradaban Islam pada masa itu runtuh, mulai ada kelemahan-kelemahan di dalam diri umat Islam. “Terpesona dengan peradaban lain, terpesona terhadap sumber-sumber hukum lain yang dari Eropa, terpesona terhadap kehidupan dunia . Hedonistik lalu tidak lagi fokus kepada visi misi dari tegaknya khilafah atau tugas khilafah yaitu menyatukan umat Islam, melaksanakan syariat secara kaffah, menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Dia terlena dengan apa yang ada pada masa itu, para pemimpin yang bergelimang dalam kemewahan dan sebagainya,” terangnya.
Adapun faktor eksternal, lanjutnya, Islam dari awalnya memang selalu berhadapan dengan musuh. Musuh-musuh itu berusaha melemahkan dan menghancurkan Islam. “Kalau kita baca dalam sejarah usaha itu sudah dilakukan puluhan bahkan ratusan tahun sebelum keruntuhan Islam. Mereka masuk dengan menyebarkan paham paham selain Islam. Sekularisme, hedonisme, materialisme dan sebagainya. Sampai akhirnya terjadilah percaturan politik yang luar biasa ketika Khilafah Utsmani terlibat di dalam konflik regional. Ada Perang Dunia pertama ketika dia kemudian bersekutu dengan Jerman berhadapan dengan Sekutu, dengan Prancis, dengan Inggris sampai akhirnya ia tidak bisa mempertahankan eksistensinya,” jelasnya.
Akhirnya, kata UIY, khilafah itu diabolished oleh Kemal Pasha. Begitulah akhir dari sebuah payung dunia Islam.
Dampak Runtuhnya Khilafah
UIY menegaskan bahwa esensi khilafah itu ada tiga. Pertama ukhuwah islamiyah, kedua penerapan syariat secara kaffah, ketiga adalah dakwah dan penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia. “Dampak paling signifikan saat khilafah runtuh ya hilangnya tiga ini,” tandasnya.
Pertama , tidak adanya ukhuwah Islamiyah menyebabkan kaum muslimin yang jumlahnya mencapai 1,7 milyar ini ibarat lidi. Satu persatu bisa dipatahkan. Ini yang kita saksikan. Apa yang terjadi di Rohingya, Uighur, Palestina termasuk terakhir di India. “Bagaimana bisa saudari muslimah kita di sana itu begitu dinistakan. Sekedar mencoba untuk menutup aurat saja diperlakukan seperti mereka adalah penjahat besar,” geramnya.
“Dan kita tidak bisa melakukan kecuali melihatnya dari jauh dengan tatapan mata penuh kesedihan dan elusan dada. Paling jauh kita berteriak. Kadang berteriak pun sekarang sudah tidak bisa karena segera dicatat bahwa anda begini begitu,” sesalnya.
Tidak adanya ukhuwah ini, menurutnya, merembet kemana-mana termasuk ketidakmampuan menjaga syiar-syiar Islam, menjaga simbol-simbol Islam yang mulia. “Al- Quran dinistakan, dibakar. Di internet kita melihat bagaimana kondisi sobekan al-Qur’an itu untuk lap buang air besar. Kita tidak bisa melawan,” sedihnya.
UIY menuturkan, Nabi Muhammad yang mulia, yang Allah SWT dan para malaikat bershalawat untuk dia, itu dihinakan seperti seolah-olah beliau ini orang yang begitu rupa. “Atas hak apa mereka melakukan itu, tidak ada hak apapun, tapi mereka melakukan dan kita tidak bisa melindunginya,” imbuhnya.
Kedua, tidak ada penerapan syariah secara Kaffah. Ketika tidak ada penerapan syariat, umat Islam tetap hidup maka gantinya adalah sesuatu yang bukan berasal dari Islam. “Secara ekonomi kapitalisme, politiknya demokrasi machiavelistik. Sikap beragamanya sinkretistik, pendidikannya materialisme, budaya westernisme, hedonisme. Itulah yang ini hari terjadi pada umat Islam,” jelasnya.
“Jadi, umat Islam itu tak ada bedanya dengan umat lain, lanjutnya. Kalaupun ada mungkin tinggal salat, tinggal pakaiannya. Kalau pakaiannya pun tidak beda, salatnya pun tidak dilakukan, praktis sudah tidak ada bedanya,” tambahnya.
Ketiga, tanpa Khilafah, dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia tidak bisa dilakukan secara efektif. “Ketiadaan dakwah efektif ini mengakibatkan tidak sedikit umat Islam yang salah faham terhadap islam, terhadap syariah Islam. “Ada yang tidak faham, ada yang belum faham, ada yang salah faham, ada yang pahamnya salah,” jelasnya.
“Jadi kita bisa melihat akibat tidak adanya khilafah tiga bonggol (pokok) ini tidak terwujud,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun