Tintamedia.web.id -- Sesak, itulah yang saya rasakan ketika membaca berita tentang adanya kerangkeng manusia yang dibuat oleh Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin
Pasalnya, di negeri yang katanya menjunjung tinggi kebebasan dan hak asasi manusia ini, masih saja ditemukan tindakan yang diduga sebagai praktik perbudakan.
Hasil investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM dan LPSK menemukan adanya dugaan Migrant Care tentang terjadinya penganiayaan terhadap penghuni kerangkeng serta adanya korban meninggal. Selain itu, ditemukan adanya perjanjian secara tertulis bahwa para penghuni dipekerjakan di perkebunan sawit tanpa digaji, tidak boleh dikunjungi ataupun berhubungan dengan pihak keluarga dalam jangka waktu tertentu. Mereka juga tidak bebas melaksanakan ibadah tertentu. Jika temuan tersebut betul-betul bisa dibuktikan, tentu hal tersebut patut disayangkan, karena sudah pasti, tindakan Bupati nonaktif Langkat tersebut melanggar UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Secara tegas, undang-undang tersebut menyebutkan bahwa para buruh memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Ini menunjukkan bahwa undang-undang Cipta Kerja tersebut tidak bisa menjangkau rakyat dari segala lapisan.
Ditambah dengan lemahnya supremasi hukum, semakin membuat hak-hak rakyat terpinggirkan. Sudah bukan rahasia lagi jika hukum di negeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Adanya penjara manusia berupa kerangkeng yang sebelumnya diklaim sebagai tempat pembinaan ilegal ini adalah salah satu buktinya. Pasalnya, kerangkeng ini telah ada selama bertahun-tahun dan diketahui oleh aparat penegak hukum. Namun, tidak ada tindakan, baik berupa teguran ataupun pelarangan.
Ini berarti sistem perlindungan negara dalam melindungi para pekerja sangat lemah.
Pengaruh Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin di tengah-tengah masyarakat memang kuat. LPSK sendiri menilai, faktor sosial inilah yang menjadi alasan kenapa warga membenarkan apa yang dilakukan pejabat yang sekaligus merangkap sebagai pengusaha tersebut, serta enggan berterus terang terkait kasus ini. Begitu juga dengan aparat setempat yang tidak melihat tindakan itu sebagai bentuk pelanggaran. Akhirnya, kerangkeng itu menjadi saksi bisu akan harapan dan keadilan palsu.
Di negeri yang menerapkan sistem kapitalis, hal-hal tersebut dipandang wajar, di mana orang yang memiliki kedudukan tinggi dan kekayaan melimpah lebih disegani dan dihormati dibandingkan hukum yang berlaku. Bahkan, hukum dan perundang-undangan dibuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan pemilik modal. Di sini, peran negara hanya sebagai regulator, bukan sebagai pengayom dan pelindung rakyat.
Sistem yang jauh dari peran agama dalam seluruh aspek kehidupan ini membuat siapa pun yang ada di dalamnya, baik penguasa ataupun masyarakat umum tidak takut menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Kalau sudah seperti ini, apa yang bisa diharapkan? Kalau toh kasus ini bisa diusut, belum tentu keadilan bagi wong cilik bisa ditegakkan. Sistem ini telah membuat masyarakat cilik menjadi bungkam, dibekap oleh kekuasaan dan kekuatan modal. Bahkan, tidak menutup kemungkinan kasus pelanggaran hak asasi manusia tersebut terus berulang, meski dalam bentuk yang berbeda. Karena itu, berharap adanya keadilan dari sistem seperti ini adalah hal yang mustahil.
Herannya, masyarakat masih betah dengan sistem semacam ini dan enggan untuk beralih ke sistem yang maha sempurna, yaitu Islam.
Di dalam sistem Islam, pemimpin yang berperan sebagai pelindung dan perisai terhadap rakyat, akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Hal ini karena semua tindakan penguasa didasari atas keyakinan bahwa semua yang dilakukan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.
Masyarakat juga memahami bahwa jika perintah dan larangan Allah Swt, dipatuhi, baik oleh penguasa maupun rakyat secara umum, maka hak-hak mereka akan terpenuhi dengan seadil-adilnya. Hal ini karena syariat Islam telah menetapkan tujuan-tujuan luhur yang dilekatkan pada hukum-hukumnya, di antaranya memelihara atas keturunan, akal, kemuliaan, jiwa, harta, agama, ketentraman/keamanan, serta pemeliharaan atas negara.
Karena itu, saya sepakat jika kasus kerangkeng manusia ini harus diusut secara tuntas dengan harapan, kerangkeng bisu itu tidak menjadi saksi bisu keadilan yang palsu. Hanya saja, karena penyebab utama dari kasus ini adalah diterapkannya sistem kapitalis yang berpihak pada pemilik modal, maka saya lebih setuju jika solusinya adalah dengan mencampakkan sistem rusak tersebut dan beralih pada sistem Islam.
Oleh: Khodijah Ummu Azka
Anggota Komunitas Penulis Darjo (Pendar)
Jumat, 04 Februari 2022
Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.