Kasus Penahanan Edy Mulyadi, Direktur Pamong Institute: Tergantung Subyektivitas Penyidik - Tinta Media

Minggu, 06 Februari 2022

Kasus Penahanan Edy Mulyadi, Direktur Pamong Institute: Tergantung Subyektivitas Penyidik

Tinta Media - Menyikapi penahanan yang terjadi pada wartawan senior Edy Mulyadi, Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky menilai penahanan itu sangat tergantung pada subyektivitas penyidik.

“Untuk menahan atau tidak, itu sangat tergantung subyektivitas dari penyidik Polri itu sendiri. Bisa saja pak Polisi menganggap ini harus ditahan, yang itu tidak harus di tahan. Kan banyak juga tersangka yang tidak ditahan,” tuturnya di Kabar  Petang: Edy Mulyadi Dibidik? Sabtu (5/2/2022) di kanal YouTube Khilafah News.

Alasan penahanan itu, menurut Wahyudi ada tiga, takut kabur, takut mengulangi perbuatan dan takut menghilangkan barang bukti.

“Kalau Bang Edy dikhawatirkan kabur, seharusnya yang harus ditakutkan itu koruptor. Kemungkinan kaburnya lebih tinggi, karena banyak uang dan bisa kabur ke luar negeri,” jelasnya.

Kalau Bang Edy, lanjutnya, kemungkinan kabur ke luar negeri kan ngga ada. Dia itu aktivis, sangat cinta negeri ini. Tentu dia akan berada di negeri ini untuk membela bangsa dan menyuarakan kebenaran.

“Tapi kalau para koruptor,  banyak yang kabur. Ingat kasusnya Nazarudin kabur ke luar negeri.  Harun Masiku, sampai sekarang tidak diketahui. Ini mestinya harus dikejar. Ini justru  suara-suara kritis yang ditahan. Kalau saya lihat ini sangat tergantung subyektivitas penyidik, ” paparnya.

Pendekatan UU Pers

Menurut Wahyudi, posisi Edy Mulyadi  yang berstatus wartawan, punya kartu yang masih aktif, tercatat juga di PWI ini menunjukkan bahwa Edy adalah insan pers. “Karena dia jurnalis dengan produk pers, harusnya pendekatannya menggunakan UU Pers. Memang bisa juga disangkakan dengan delik umum atau UU yang lain, tapi dalam hukum itu kan ada asasnya. Asasnya adalah  lex specialis derogat legi generali (hukum yang spesial itu mengalahkan hukum yang umum),” jelasnya.

Jadi, Wahyudi melanjutkan, dalam hal ini UU pers itu hukum yang sifatnya  khusus dibanding hukum pidana yang sifatnya lebih umum. “Semestinya kalau dia insan pers dan produknya juga produk pers yaitu mengkritisi negeri ini supaya lebih baik dan memang bagian dari  pernyataan di konferensi pers, seharusnya bisa dikategorikan sebagai produk pers, atau produk jurnalis yang harusnya diurus dengan UU jurnalistik,” imbuhnya.

“Kalau kita lihat dari  situ mestinya ada klarifikasi atau diselesaikan lewat dewan pers,” sarannya.

Dibidik

Menurut Wahyudi, di rezim sekarang ini semua aktivis dan ulama terutama yang berseberangan dengan kebijakan penguasa atau sangat kritis terhadap penguasa merasakan dimusuhi, dibidik dan dikriminalisasi.

“Bukan hanya Bang Edy, tapi sebelumnya ada Sah Bandar Nainggolan, ada Habib Rizieq, Ali Baharsyah, Habib Bahar bin Smith. Pemerintah demokratis tidak muncul. Yang ada para aktivis itu bukan sekedar dibidik tapi dicari-cari,” jelasnya.

Indikatornya, lanjut Wahyudi,  kalau aktivis  kritis dicari cari, sedang para aktivis  yang  pro rezim itu bahkan bukan dicari-cari, sudah dilaporkan pun, tidak diproses.   Ade Armando, Abu Janda, prosesnya enggak nampak di depan publik. Nampak ada aktivis yang rentan dikriminalisasi dan ada aktivis yang mungkin kebal hukum bahkan dapat keistimewaan hukum.

Industrialisasi Hukum

Wahyudi menilai bahwa hukum sudah menjadi industri atau diperjualbelikan.  “Saya kira itu sudah bukan rahasia publik lagi. Bahkan ada seorang petinggi negeri yang menegaskan itu. Menkopolhukam pada 2020 lalu pernah menyampaikan bahwa hukum seringkali dijadikan industri, bahkan hukum  menjadi industri itu sendiri. Kalau kita melihat hukum sudah menjadi industri maka yang punya modal besarlah yang bisa melakukan prosesi hukum dan juga bisa melakukan industrialisasi,” terangnya.

“Industrialisasi hukum itu kalau saya lihat bisa bermacam macam. Hukum bisa diperjualbelikan dari berbagai perspektif. Dari tuntutannya itu  bisa diatur. Yang seharusnya dituntut berat bisa dituntut ringan. Dari sisi jenis vonisnya,  vonis berat bisa jadi vonis ringan atau bahkan divonis nihil. Ada yang obral diskon hukuman. Setelah dihukum ada diskon,” paparnya.

Ia memberikan contoh kasus Mensos yang mengkorupsi dana bansos dimasa covid yang mestinya dihukum berat tapi hanya dituntut 11 bulan. Atau Heru Hidayat yang tersangkut dana puluhan triliun dana ASABRI divonis nihil.

“Bandingkan kita pernah ada aktivis yang divonis berlapis-lapis. Ali Baharsyah hanya ucapan bukan korupsi divonis 10 bulan, kemudian divonis lagi 18 bulan. Jadi koruptor itu banyak yang enggak taubat atau enggak takut karena dari tuntutannya bisa ringan, vonisnya juga ringan. Bahkan setelah divonis bisa dapat discount. Ada yang sampai 60 %,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :