Tinta Media - Narator film dokumenter Jejak Khilafah di Tatar Sunda #3 (JKTS#3) menarasikan bahwa perjuangan umat Islam pasca Proklamasi belum berhenti.
“Perjuangan umat Islam pasca Proklamasi Kemerdekaan belum berhenti. Tujuan menegakkan syariat Islam secara sempurna dalam segala aspek kehidupan masih terus menggelora. Bahkan sebenarnya pada periode ini upaya untuk mewujudkan khilafah bukan hanya di level nasional melainkan juga internasional,” tutur narator dalam film JKTS#3 yang mulai tayang Ahad (13/2/2022).
Dinarasikan bahwa di Mesir Ikhwanul Muslimin berdiri sejak 1928. Gerakan yang dipelopori Syekh Hasan al-Banna ini menjadikan khilafah sebagai cita-citanya. Di India gerakan yang didirikan Abul ala Al maududi yang bernama Jami Al Islami berdiri dan berkembang sejak 1941. Sebelumnya al-Maududi juga aktif dalam gerakan Khilafah movement yang secara terbuka berusaha mengembalikan kembali khilafah pasca runtuhnya Khilafah Utsmani. Di Palestina pasca pendudukan Israel pada 1947 gerakan untuk mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan khilafah juga didirikan oleh ulama alumni Al Azhar Syekh Taqiyuddin an Nabhani.
“Di Indonesia para tokoh-tokoh ulama tetap melakukan perjuangan mewujudkan syariat Islam sebagai dasar negara, baik secara pemikiran maupun secara politik. Kitab-kitab yang dibawa oleh jaringan Al Haromain(Hijaz yang di Mekah dan Madinah ) pada masa kekhilafahan Utsmani masih dikaji. Termasuk kitab-kitab yang menjelaskan pentingnya penerapan syariah Islam secara kaffah. Tak heran cita-cita mewujudkan negara masih tetap bergelora,” tutur narator.
“Spirit yang dibangun melalui kitab-kitab inilah yang membakar semangat umat Islam melawan penjajah Ketika Belanda dan sekutu mencoba datang lagi untuk menguasai Indonesia. Tidak sulit untuk menemukan jejak bahwa ujung tombak perlawanan pada periode awal kemerdekaan adalah tokoh-tokoh Islam,” ujar narator.
“Sejarah mencatat Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwa resolusi jihad pada 22 Oktober 1945, untuk merespon kedatangan NICA (Netherland Indies Civil Administration), pasukan bentukan penjajah Belanda yang hendak menjajah lagi,” paparnya.
Resolusi yang juga didorong fatwa KUI (kongres umat Islam) inilah, lanjutnya, yang membuat umat Islam dengan gagah berani pasang badan dalam pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945.
“Tersebutlah dua nama kyai besar asal Tatar Sunda yang ambil bagian dari pertempuran heroik ini. keduanya adalah Haji Amin sepuh dari pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Kyai Haji Abbas Abdul Jamil dari Pesantren Buntet Cirebon,” imbuhnya.
Sejarah, lanjutnya, juga mencatat kader Muhammadiyah bernama Jendral Sudirman adalah panglima yang dikenang jasanya memimpin pertempuran melawan Sekutu di Ambarawa pada 21 November 1945. Termasuk pertempuran Bojongkokosan yang terjadi di Sukabumi Pada periode Desember 1945 hingga Maret 1946 melawan Inggris.
“Khusus di Tatar Sunda terutama Priangan sejarah tidak bisa menghapus peranan Laskar Hizbullah. Laskar bentukan partai Masyumi ini terlibat dalam upaya menghalau sekaligus melucuti senjata Belanda dan Sekutu. Tercatat bahwa peranan Laskar Hizbullah ada dalam banyak pertempuran monumental di Garut, Indramayu, Karawang, termasuk peristiwa heroik bernama Bandung Lautan Api pada 23 Maret 1946,”terangnya.
“Tujuh belas Agustus 1947 Indonesia dan Belanda menyepakati gencatan senjata. Kesepakatan ini kemudian berujung pada perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Sayangya isi perjanjian sangat merugikan Indonesia, karena tmembuat wilayah Indonesia hanya bersisa Jawa Tengah Yogyakarta dan Sumatera .Tentu saja Ini memicu gejolak di tengah masyarakat, termasuk Jawa Barat yang diputuskan menjadi wilayah pendudukan Belanda,” ungkap narator.
“Adapun pemerintah Indonesia saat itu setuju untuk meninggalkan Jawa Barat untuk Belanda . Tapi tidak dengan Kartosuwiryo tokoh Islam yang satu ini bertahan di Jawa Barat. Di tengah kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan pemerintah Indonesia, Kartosuwiryo menghimpun kekuatan dengan mendirikan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia yakni DI/TII dan tetap melawan Belanda,” tandasnya.
“Hingga 1950 an geliat mewujudkan negara berdasarkan syariat Islam terus berlangsung,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun