Tinta Media - Narator film Jejak Khilafah di Tatar Sunda #3 (JKTS#3) menyampaikan bahwa di tengah kecamuk Perang Dunia kedua (PD 2), perjuangan Islam tidak berhenti.
“Di tengah kecamuk Perang Dunia dua (1939-1945) ppantara pasukan sekutu dipimpin Amerika dan Inggris, melawan pasukan poros Jerman, Italia dan Jepang, perjuangan Islam tidak berhenti,” tuturnya di film JKTS#3 yang mulai tayang Ahad (13/2/2022)
Menurutnya, ketika Jepang mulai kewalahan menghadapi perlawanan gerakan Islam, pada September 1944, Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kelak kemudian hari melalui Pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
“Dalam sidang-sidang BPUPK ini terjadi perdebatan alot tentang dasar negara yang akan dijalankan saat Indonesia merdeka. Tokoh-tokoh Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara, sementara itu kelompok nasionalis sekuler menolak keras ide tersebut,” tuturnya.
“Para tokoh yang berasal dari Tatar Sunda, lanjutnya, juga turut andil dalam perjuangan ini. Dari sekian perwakilan yang berasal dari Tatar Sunda tercatat ada dua nama anggota BPUPK yang terkenal kiprahnya. Keduanya yakni Kyai Haji Ahmad Sanusi dari Sukabumi dan Kyai Haji Abdul Halim dari Majalengka,” tambahnya.
“Para tokoh Islam sangat kuat mempertahankan pentingnya keyakinan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tentu tidak mengherankan karena ratusan tahun Nusantara ada di bawah kesultanan-kesultanan Islam dalam naungan Khilafah yang menerapkan syariat Islam dalam setiap sendi kehidupannya .Mereka sangat memahami bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin,”tegasnya.
Sejarah kemudian mencatat, lanjut narator, sidang BPUPK yang difasilitasi oleh Jepang, memberikan keuntungan bagi kalangan nasionalis sekuler .Dari 60 anggota BPUPK hanya ada 11 wakil Muslim, jumlah yang tidak proporsional mengingat saat itu 95% penduduk Indonesia beragama Islam. Namun 11 perwakilan Islam di BPUPK tidak menyerah, mereka secara terbuka dan berani menyuarakan aspirasinya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.
“Kerasnya perdebatan tersebut tercermin dari debat debat yang terjadi antara tokoh-tokoh Islam dengan tokoh-tokoh Nasionalis sekuler dalam berbagai forum. Akhirnya perdebatan sengit ini menghasilkan titik kompromi yang dicatat sejarah sebagai Piagam Jakarta,”jelasnya.
Salman Iskandar, nara sumber dalam film tersebut menjelaskan, “Tentang Piagam Jakarta yang disepakati oleh para Founding Father pada 22 Juni 1945, itu ditandatangani oleh sembilan orang tokoh pendiri bangsa. Para founding fathers, diantaranya yang mewakili kalangan nasionalis sekuler dan dari kalangan tokoh-tokoh Islam,” jelas Salman.
“Dari kalangan tokoh-tokoh Islam ada Kyai Haji Abdul Wahid Hasyim, kemudian juga ada Kyai Haji Abikusno tjokrosoejoso, kemudian juga ada Kyai Haji Abdul Kahar Muzakir dan juga ada Kyai Haji Agus Salim. Sedangkan dari kalangan tokoh-tokoh nasionalis sekuler di situ ada Mohammad Hatta ada juga Muhammad Yamin, ada Ahmad Subarjo dan juga ada tokoh dari kalangan nasionalis Protestan , orang Sulawesi Utara yang kita kenal sebagai Mister Alexander Maramis, dan juga dipimpin oleh sosok yang kita kenal sebagai Insinyur Soekarno,” imbuh Salman.
“Maka, kalau kita perhatikan berkenaan dengan komposisi jumlah orang yang ada di Panitia Sembilan pada waktu itu maka sebetulnya suara umat Islam itu hanya ada 4 . sedangkan dari kalangan nasionalis sekuler itu ada 5. Menurut hitung-hitungan tentu ternyata umat Islam, tokoh-tokoh Islam itu kalah suaranya. Namun ternyata Mereka kemudian bersepakat untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara,” lanjut Salman.
“Bahkan tokoh nasionalis sekuler dari kalangan non muslim yang namanya adalah Alexander A Maramis Protestan dari Sulawesi Utara menyatakan 200% setuju dengan dasar negara, pasal yang pertama atau asas yang pertama, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” jelas Salman.
Dan pernyataan ini pun, menurut Salman, kemudian dikutip oleh Deliarnoor dan juga Profesor Mansur Suryanegara. Mereka menuliskan kesaksian dari Kyai Haji Abdul Kahar Muzakir yang mendengar langsung pernyataan dari tokoh nasionalis sekuler dari kalangan nonmuslim tadi Mister Alexander A Maramis yang menyatakan setuju 200% dengan isi Piagam Jakarta dengan alasan bahwasanya Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya tidak mengikat kalangan nonmuslim.
“Makanya perwakilan non muslim di Panitia Sembilan setuju 200% berkenaan dengan isi dari piagam Jakarta tertanggal 22 Juni tahun 1945,” terang Salman.
Narator melanjutkan, Piagam Jakarta merupakan keputusan kompromi yang membatasi syariat Islam hanya bagi pemeluk Islam. Ini bukanlah keputusan ideal yang diinginkan. Sayangnya saat proklamasi berlangsung, keputusan ini tak benar-benar diwujudkan. Piagam Jakarta yang sebelumnya disepakati sebagai mukadimah konstitusi dan akan dibacakan pada hari proklamasi, tak dibacakan dengan alasan Hatta lupa membawanya. Bahkan sehari setelah proklamasi yaitu tanggal 18 Agustus 1945 tujuh kata dalam piagam Jakarta sebagai konsensus nasional yang mewajibkan umat Islam menjalankan syariat agamanya dihapuskan secara sepihak oleh Hatta.
Berkaitan dengan ini Salman menjelaskan, “Kesepakatan di dalam Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 itu sesungguhnya merupakan Proklamasi Kemerdekaan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Kyai Haji Firdaus AN. Beliau menyatakan bahwasanya dasar negara termasuk juga proklamasi kemerdekaan itu yang harusnya dibacakan adalah piagam Jakarta tadi,” tutur Salman.
“Ternyata Hatta dalam konteks itu menerima apa yang diusulkan oleh Sam Ratulangi, dikehendaki oleh Johannes Latuharhary ataupun yang dikehendaki oleh I Gusti Ketut Pudja. Pada hari berikutnya tanggal 18 Agustus tahun 1945 Hatta kemudian mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta,” bebernya.
Namun menurut Salman, tokoh-tokoh Islam menolak tegas berkenaan dengan rencana Hatta untuk mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta tadi.
“Kalau kita perhatikan lebih lanjut, tokoh umat Islam yang menentang rencana Hatta tadi adalah sosok Ki bagus Hadikusumo. Bahkan beliau secara tegas ingin mengembalikan asas negara berdasarkan atas Islam dengan ketentuan atau usulan negara berdasarkan atas dasar Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam. Tanpa ada istilah atau embel-embel bagi pemeluk-pemeluknya,” pungkas Salman.[] Irianti Aminatun