Tinta Media - Narator film Jejak Khilafah di Tatar Sunda #3 (JKTS #3) mengatakan bahwa perisitiwa kongres pemuda pada 1928 menjadi penanda adanya arah perjuangan yang berbeda.
“Kongres pemuda pada 1928 menjadi penanda adanya arah perjuangan yang berbeda. Gerakan gerakan nasionalis sekuler kemudian subur dan melahirkan tokoh-tokoh baru,” tuturnya dalam film JKTS#3 yang mulai tayang (13/2/2022).
Ia melanjutkan, sebagian dari tokoh-tokoh ini adalah orang-orang yang mendapatkan pendidikan dari Barat. “Mereka menjadi wajah baru perjuangan yang muncul di akhir-akhir terusirnya kaum penjajah, setelah ratusan tahun para mujahid Islam mengorbankan harta jiwa dan raganya untuk mengenyahkan penjajah,” ungkapnya.
Berkaitan dengan ini, Salman Iskandar sebagai salah satu narasumber dalam film tersebut menjelaskan, “Sejak abad ke-20 ketika pemerintah kolonial Hindia-Belanda itu memiliki kepemimpinan baru dengan diangkatnya Ratu Wilhelmina sebagai pimpinan kerajaan Belanda pada waktu itu. Dalam pidato inagurasinya Ratu Wilhelmina menjanjikan untuk memberikan balas budi kepada kalangan Bumiputera yang ada di Nusantara Indonesia yang kemudian kita kenal sebagai politik etis atau politik balas budi,” terangnya.
“Salah satu di antara politik etis yang dikemukakan itu adalah politik edukasi yaitu mendidik kalangan Bumiputera untuk menjadi kalangan terpelajar dan mereka bisa dipekerjakan dengan biaya murah bagi kepentingan kolonial Hindia Belanda yang ada di Nusantara khususnya yang ada di Batavia,” imbuhnya.
Ia melanjutkan, dan kalau kita perhatikan lebih lanjut, ternyata politik edukasi yang dijalankan oleh Pemerintah Kolonial melalui Kementerian Pendidikan dan Kerajinan yang dipimpin oleh Abendanon pada waktu itu, itu dia selalu mendapatkan nasehat dari sosok yang dikenal sebagai islamolog dan juga seorang zending Protestan Belanda yaitu sosok yang dikenal sebagai Snouck Hurgronje.
“Snouck Hurgronje kemudian menyampaikan nasihat kepada Kementerian Pendidikan Budaya dan juga Kerajinan Abendanon bahwasanya pola pendidikan yang diajarkan untuk kalangan Bumiputera itu dengan mengedepankan plotisme yang maknanya adalah menjarakkan atau menganggangkan berkenaan dengan keyakinan keagamaan di antara kalangan Bumiputera dalam dunia pendidikan, hingga kemudian membentuk karakteristik para pembelajar di Nusantara Indonesia yaitu menjadi orang-orang yang tidak memegang teguh agama,” terang Salman.
Oleh sebab itu, kata Salman, maka lahirlah kalangan terpelajar yang menjadi orang-orang sekuler dan menjadi orang-orang yang kemudian netral terhadap agama. “Bahkan kemudian anti terhadap syariat agama,”pungkas Salman.[] Irianti Aminatun