Tinta Media - Salah seorang anggota DPRD Kabupaten Bandung, yakni Sugiarto mengusulkan agar Dana Desa (DD) dan Anggaran Dana Perimbangan Desa (ADPD) tidak hanya digunakan untuk membangun infrastruktur sehingga membuat dana tersebut tidak berkembang. Menurutnya, dana desa dapat diinvestasikan dalam sebuah bentuk usaha yang dijalankan oleh BUMDes, sehingga dapat menghasilkan keuntungan. Keuntungan tersebut nantinya akan masuk ke dalam pendapatan asli desa (PADes), untuk pengembangan desa.
Salah satu contoh BUMDes yang dikelola oleh pemerintah desa adalah objek wisata yang ada di Desa Mekarjaya, yaitu tempat wisata yang dikelola oleh masyarakat di bawah bimbingan pemerintah desa. Jadi, pemerintah desa memberikan intervensi dalam hal anggaran.
Usulan tersebut seakan bentuk perhatian dari pemerintah kepada rakyat karena keberadaan dana tersebut digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan berbasis investasi, pembinaan ke masyarakatan, dan pemerdayaan masyarakat desa. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan swakelola dengan menggunakan sumber bahan baku lokal, yang diharapkan dapat lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat desa.
Pada dasarnya, DD dan ADPD berasal dari APBD yang salah satu pemasukan utamanya berasal dari pajak. Peruntukan APBD yang disalurkan ke tingkat desa dalam bentuk DD seyogyanya memang harus digunakan untuk kebutuhan masyarakat desa, agar mampu memenuhi kebutuhan mereka sebagai rakyat, apakah dalam bentuk sarana prasarana (infrastruktur) yang memudahkan rakyat dalam beraktivitas, bahkan dalam memenuhi kebutuhan mereka, misalnya sekolah, pusat kesehatan, atau pun berupa tersedianya lapangan kerja.
Jika pemerintah menjadikan dana tersebut sebagai dana investasi untuk digunakan dalam bisnis, hal ini tentu harus dikritisi. Hal ini karena keberadaan dana yang sudah dianggarkan dalam perencanaannya adalah untuk pembangunan bagi masyarakat. Akan terjadi salah kelola jika dana tersebut diinvestasikan.
Tidak hanya bicara tentang keuntungan yang mungkin dapat menjadi sumber pemasukan, tetapi juga tentang kemungkinan rugi. Jika untung dan dapat menjadikan desa berkembang, dianggap mandiri dan memperoleh pendapatan sendiri tanpa harus mengajukan angaran ke pusat. Ini menunjukkan upaya lepas tangannya penguasa daerah terhadap anggaran pembangunan desa.
Adapun jika rugi, pemasukan ke PADes tidak ada. Pembangunan infrastruktur pun tidak ada. Maka, rakyat juga yang menanggung akibatnya. Pembangunan desa menjadi terbengkalai.
Inilah masyarakat kapitalisme. Dengan asas manfaat, dana yang berasal dari pajak rakyat dan yang kabarnya untuk kepentingan rakyat, akan diinvestasikan hanya untuk mendapatkan keuntungan yang tidak pasti. Kezaliman yang terjadi justru berlipat-lipat. Rakyat dipajaki sedemikian rupa, dananya pun salah kelola. Hal ini semakin membuktikan bahwa penguasa dalam sistem ini tidak amanah terhadap harta rakyat. Padahal Baginda Rasullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) adalah perisai bagi orang-orang yang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah 'azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala, dan jika ia memerintahkan selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya ( HR. Al Bukhari, Muslim, An-Nasai, dan Ahmad).
Hadis ini bermakna bahwa keberadaan seorang imam (pemimpin, khalifah) adalah untuk menjadi junnah (perisai) yang melindungi masyarakat dari berbagai mara bahaya, keburukan, kemudaratan, kemunduran, kezaliman, dan sebagainya.
Karena itu, penguasa sebagaimana dalam hadis di atas hanya akan lahir dari sistem yang sahih, yang sesuai dengan fitrah manusia, yaitu sistem dari Al Khalik, Allah Swt. dengan sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyyah. Peran aktif Khalifah dalam melakukan ri'ayah su' unil ummah (mengurusi umat) akan senantiasa menjadikan khalifah di bawah payung hukum syariat dalam menentukan kebijakan.
Dana pembelajaan untuk pembangunan wilayah dalam kekuasaannya akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di tempat masing-masing, sehingga tepat sasaran dan tepat guna.
Dana itu diberikan kepada masyarakat sebagai pemenuhan atas hak-hak mereka, tanpa kompensasi karena berasal dari kas pemasukan yang salah satunya dari hasil kekayaan milik umum (rakyat), semisal sumber daya alam, yang dikembalikan kepada rakyat untuk kemaslahatan mereka. Kebijakan ini dibuat semata dijiwai oleh mandat untuk mengurusi urusan umat sesuai dengan syariat Allah Swt.
Wallahu a'lam bi ash shawab
Oleh: Amanahtya
Sahabat Tinta Media