Tinta Media - Koordinator Indonesian Valuation For Energy and Infrastuctur (Invest) Ahmad Daryoko menyimpulkan bahwa keberadaan PLN didorong oleh semangat kemerdekaan, keinginan untuk berdaulat dan mandiri.
“Keberadaan PLN didorong oleh semangat kemerdekaan, keinginan untuk berdaulat dan mandiri guna mewujudkan sebagai negara industri yang sesungguhnya (genuine) , bukan Negara Industri seolah olah padahal hanya ‘brocker’ atau paling banter industri ‘rakitan’,” jelasnya kepada Tinta Media, Kamis (3/1/2022).
Simpulan itu ia dapat setelah melakukan ‘muhasabah’ keberadaan PLN selama 76 tahun lebih. “Perlu kiranya kita mengingat situasi kelahirannya yang dalam kondisi ‘melarat’ tetapi penuh semangat perjuangan, keinginan untuk mandiri dan berdaulat dan tidak mau bergantung ke penjajah. Penuh gelora ideologi Etatisme (Nasionalis) atau tajul furudh (mahkota kewajiban). Sehingga lahirlah Jawatan Gas dan Listrik Negara , yang merupakan perusahaan Infrastruktur negara dibidang kelistrikan guna cita-cita kemerdekaan yaitu menuju masyarakat modern, maju, mandiri,” simpulnya.
“Mengapa dipilih strategi infrastruktur yang ‘benefit oriented’? Bukan PT. PLN (Persero) yang ‘profit oriented’ ? Ternyata semua tergantung dari ideologi para pendirinya,” tanyanya diplomatis.
Menurutnya, andai mind set para Founding Father saat itu liberal, tentu mereka tidak akan menasionalisasi NV Ogem, Gebeo, Ebalom, NIGMN dll menjadi PLN. Tetapi lebih memilih menjadikan perusahaan-perusahaan Belanda tersebut dijadikan IPP Listrik Swasta, sekaligus bisa nitip saham.
“Alasan bisa dibikin, bahwa tidak punya uang, serba kekurangan dan seribu satu macam alasan yang pada dasarnya menunjukkan karakter ‘pragmatisme’, inlander, jiwa budak, atau minimal mental ‘brocker’, “paparnya.
Lebih jauh lagi, lanjutnya, kalau Founding Fathers-nya seperti itu, mereka tidak akan memproklamirkan Kemerdekaan. Mereka berpikir tidak perlu merdeka, yang penting bisa bisnis dengan penjajah dan rakyat cukup dianggap konsumen.
“Untuk itu memang sudah benar PLN dikelola secara infrastruktur sebagai terjemahan dari hadits "Al muslimuuna syurokau fii tsalatsin fil ma'i wal kalai wan naar. wa tsamanuhu haramun". Atau untuk memenuhi pasal 33 ayat (2) UUD 1945, " Cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara". Sehingga komoditas listrik dianggap sebagai ‘public good’ yang harus dikuasai Khalifah/Negara demi kesejahteraan rakyat. Bukan sebagai komoditas ‘commercial good" yang dikuasai para Konglomerat/Oligarkhi/Pedagang yang hanya untuk kepentingan pribadi dan melanggengkan kekuasaan,” jelasnya.
Untuk itu, menurutnya, diperlukan pemimpin dengan visi/ideologi etatisme (sebagai ruh Pancasila) atau tajul furudh (inti Ideologi Islam). “Bukan Pemimpin penganut ideologi ‘pragmatis, lebih-lebih mental pedagang yang orientasinya hanya hitung-hitungan untung rugi buat kepentingan pribadi dan oligarkinya,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun