Tinta Media - Nasib malang dialami Nusrat Ghani, seorang perempuan yang menduduki jabatan wakil Menteri Perhubungan di Inggris. Ia dipecat dari jabatannya karena status agamanya, muslimah. Wanita kelahiran Kashmir yang juga merangkap anggota parlemen dari Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri Boris Johnson kejadian tidak mengenakkan yang menimpa dirinya pada surat kabar Sunday Times.
Ghani bercerita, dia diberhentikan dari posisi wakil menteri perhubungan pada Februari 2020. Awalnya dia diberi tahu oleh otoritas penegak disiplin di parlemen bahwa status Muslimahnya dianggap menjadi masalah.
“Saya diberitahu saat pertemuan reshuffle di Downing Street, ‘Muslim’ diangkat sebagai ‘isu’, bahwa status saya sebagai ‘menteri perempuan Muslimah’ membuat teman-teman tidak nyaman,” kata Ghani, kepada surat kabar, seperti dilaporkan kembali Reuters, Minggu (23/1/2022). Setelah pemecatan itu, Boris Johnson, selaku pimpinan partai memerintahkan penyidikan atas kasus yang menimpa Ghani. Namun belum didapat kabar bagaimana hasil penyidikan tersebut.
Lain Ghani lain Hayati Safri, Dosen di Institut Agama Islam Negeri Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, yang sehari-hari mengenakan cadar. Ia mendapat surat keputusan pemberhentian dengan hormat atas dirinya sebagai dosen mata kuliah Speaking di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Surat keputusan pemberhentian yang dikeluarkan langsung oleh Kementerian Agama RI tersebut, diterimanya pada 20 Februari 2019.
Walaupun pemberhentian dirinya disebutkan karena alasan sikap indispliner, yakni meninggalkan tugas karena dirinya sedang menjalani kuliah, namun Hayati merasa ini adalah kesalahan yang dicari-cari karena ia tetap bertahan memakai cadar.
“Saya sudah jelaskan sebelumnya. Sudah saya sertakan bukti ke Inspektorat Jenderal Kemenag saat diperiksa tahun lalu. Saya juga memiliki prestasi dari hasil itu. Cuma data yang saya berikan tidak bisa mereka terima. Anehnya, bahkan ada pimpinan juga yang kuliah melanjutkan S3 di kota yang bahkan lebih jauh dari saya. Padahal sedang menjabat, tapi ternyata tidak dikasuskan kehadirannya,” ujarnya.
Sebelum kasus pemberhentian Hayati, sejumlah rektor kampus UIN, yaitu UIN Sunan Kalijaga dan UIN Bukittinggi mengeluarkan larangan dosen, pegawai dan mahasiswi bercadar di kampus. Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudi Yudian yang kini menjabat Ketua BPIP, menyebutkan larangan cadar di kampus untuk mencegah radikalisme serta memberikan keamanan bagi bagi kampus serta umum, tetapi juga bagi para mahasiswi yang menurutnya memakai cadar karena terkena doktrin.
Pemecatan Ghani adalah secuil dari kian menguatnya arus Islamfobia di Eropa. Hal itu disampaikan laporan bertajuk European Islamophobia Report 2020 yang disusun Enes Bayrakli dan Farid Hafez. Bayrakli adalah profesor hubungan internasional di Turkish-German University yang berbasis di Istanbul. Sementara Hafez adalah ilmuwan politik dari Georgetown University’s Bridge Initiative. Menurut mereka, kondisi enam tahun terakhir banyak pengamat akan sepakat bahwa keadaan Islamofobia di Eropa tidak hanya tidak membaik, tapi memburuk, jika tidak mencapai titik kritis, dikutip laman Daily Sabah, Jumat (31/12).
Bayrakli mengungkapkan pelecehan terhadap Muslim di dunia maya mengalami peningkatan signifikan. “Ini mengkhawatirkan karena narasi daring tidak tetap daring dan dapat menciptakan iklim serangan fisik terjadi di dunia nyata,” ujarnya.
Hafez menguraikan kasus-kasus Islamofobia yang terjadi di sejumlah negara Eropa. Jerman secara keseluruhan telah mendokumentasikan lebih dari 31 ribu kasus kejahatan kebencian. Sebanyak 901 di antaranya merupakan kasus ujaran kebencian dan aksi anti-Muslim.
Prancis mencatatkan 1.142 kasus kejahatan kebencian. Korban dari 235 kasus di antaranya adalah Muslim. “Jadi, daripada menyarankan bahwa kejahatan rasial terhadap Muslim lebih banyak terjadi di Jerman daripada di Prancis, orang lebih cenderung mempertanyakan seberapa serius otoritas kepolisian Prancis mendokumentasikan kejahatan rasial secara umum,” kata Hafez.
Muslim di Austria juga menghadapi tahun yang sulit. Di negara tersebut, kasus Islamofobia meningkat dua kali lipat menjadi 812 insiden. Pemerintah di sana dinilai turut terlibat dalam melembagakan Islamofobia.
Menguatkan kebencian pada Islam bukan semata tindakan warga, tapi juga dilembagakan oleh sejumlah negara-negara Barat. Di Austria, pemerintah mendirikan “pusat dokumentasi” pada Juli 2020 untuk memasukkan Muslim ke dalam daftar hitam. Sebagai bagian dari program itu Otoritas Austria menerbitkan peta Islam politik yang mengidentifikasi lokasi lebih dari 620 masjid, asosiasi Muslim pejabat, dan kemungkinan koneksi mereka di luar negeri.
Pihak keamanan Austria juga melancarkan Operasi Luxor di mana polisi menggerebek rumah-rumah keluarga Muslim, termasuk kamar tidur anak-anak di bawah payung kontra-terorisme. Operasi ini menciptakan trauma pada anak-anak dan kaum perempuan.
Sebuah kelompok yang dipimpin profesor Ednan Aslan dari Universitas Wina berpendapat, peta digital menggambarkan Muslim sebagai penjahat. Kelompok itu juga menduga pemerintah sengaja memanipulasi publik dengan mengkambinghitamkan umat Islam untuk mengalihkan isu korupsi.
Kebijakan kontra Islam juga dilakukan sejumlah negara lain di Eropa seperti Jerman, Swedia, dan Belanda. Di Jerman, seorang hakim keturunan Turki diberhentikan dari tugasnya karena mengenakan jilbab, sementara Mahkamah Konstitusi di Belgia memutuskan pelarangan simbol politik dan agama di lembaga pendidikan pasca sekolah menengah adalah sah.
Mahkamah Konstitusi Brussels pada awal Juni lalu juga memutuskan, larangan jilbab tidak akan bertentangan dengan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR). Kasus ini dirujuk ke Mahkamah Konstitusi oleh pengadilan Brussels setelah mahasiswa Muslim menggugat Francisco Ferrer Brussels University College atas larangan semua simbol agama.
Sementara di Prancis, Presiden Emmanuel Macron memperkenalkan undang-undang yang mengusulkan pelarangan jilbab bagi anak perempuan di bawah usia 18 tahun di ruang publik dan politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders juga mencoba memperkenalkan undang-undang serupa untuk melarang jilbab dan ritual pengorbanan selama Idul Adha.
Sedangkan Pemerintah Swedia melarang pendirian sekolah-sekolah Muslim di negara itu setelah pengumuman Menteri Pendidikan Anna Ekstrom untuk mendukung langkah menentang sekolah-sekolah agama.
Semua tindakan negara-negara Eropa ditujukan untuk melindungi konstitusi negara mereka yang sekuler dari apa yang mereka istilahkan sebagai ancaman kelompok Islam radikal dan terorisme.
Indonesia Sama?
Menilik dari apa yang dilakukan terhadap Islam dan kaum muslimin di sejumlah negara Eropa, ternyata juga terjadi di tanah air. Meski mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim, tapi opini fobia terhadap Islam menguat. Sampai-sampai banyak muslimah yang tidak leluasa lagi mengenakan cadar. Hal ini dilakukan oleh dua pihak; buzzer di media sosial dan pemerintah dengan berbagai institusinya.
Di media sosial, selain istilah radikal, para buzzer dan sejumlah tokoh juga menggunakan istilah intoleran, kadrun, pro Arab, juga frase anti NKRI dan anti Pancasila kepada siapa saja yang dianggap membawa Islam dalam bidang politik. Bahkan serangan itu sebagian sudah mengarah pada pelecehan personal bahkan penistaan agama.
Berdasarkan data di Mahkamaha Agung, Islam justru menjadi agama yang paling banyak dilecehkan. Anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Aditia Bagus Santoso menyebut, ada sebanyak 67 kasus penodaan agama yang terjadi di Indonesia sepanjang 2020. Meski penduduk muslim adalah mayoritas, namun data ternyata menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang paling sering dihina.
Data juga menunjukkan secara keseluruhan, pelaku penistaan agama berasal dari 5 agama besar di Indonesia. Namun, lagi-lagi suatu ironi, mayoritas pelaku berasal dari agama Islam, yaitu 56,7 persen. Kemudian pelaku beragama Protestan, yaitu 23,3 persen. Agama Buddha, hindu, bahkan ateis masing-masing hanya 1,7 persen. Artinya banyak muslim yang malah melecehkan agamanya sendiri.
Penegakkan hukum terhadap penistaan Islam justru paling sedikit terjadi. Pengacara muslim Aziz Yanuar menyebutkan, sejak 2014 hingga 2022 dari 71 kasus yang dilaporkan dengan tersangka dari kelompok oposisi seperti Habib Rizieq Shihab dan Habib Bahar Smith, semua tersangka dipenjara. Sebaliknya, dari 51 kasus penistaan agama yang dilakukan buzzer yang dilaporkan, hanya sedikit bahkan bisa dihitung dengan jari yang dijebloskan ke dalam tahanan, seperti M Kace atau Ferdinan Hutahean.
Kebijakan pemerintah dan aparat keamanan terhadap Islam juga menguatkan arus Islamfobia. Pernyataan BNPT bahwa ada ratusan masjid dan pondok pesantren terpapar radikalisme menunjukkan Islam terus menjadi sasaran kebijakan politik dan keamanan. Ketika banyak pihak marah dan meminta klarifikasi kajian ilmiah dan masjid serta ponpes mana saja yang dimaksud, belum ada tanggapan resmi dari BNPT.
Sama seperti ketika BNPT menyebut rohis di sekolah-sekolah menengah atas sebagai sarang teroris, tak juga ada klarifikasi yang memadai riset ilmiahnya. Namun pernyataan itu berhasil membuat banyak sekolah dan orangtua takut dan mewaspadai aktifitas kerohanian Islam di sekolah. Ketakutan itu terus sampai hari ini.
Belakangan di medsos, para buzzer juga memainkan narasi bahaya sekolah-sekolah Islam terpadu (SD/SMP/SMA IT). Mereka menuduh bahwa sekolah-sekolah Islam Terpadu membawa ideologi asing yang disebarkan kelompok-kelompok Islam radikal untuk mencuci otak para siswa.
Padahal radikalisme juga sesuatu yang abu-abu. Sering yang dimaksud adalah kelompok yang pro-Khilafah, intoleran, kerap menyebar ujaran kebencian dan anti pemerintah. Definisi seperti ini tidak jelas bahkan cenderung politis. Soal Khilafah, pihak MUI sudah menyatakan hal itu adalah bagian dari Islam dan diminta tidak ada yang mengkriminalisasinya.
Soal intoleran juga tidak ada batasan yang jelas; seringkali sikap intoleran disebut sebagai awal dari kemunculan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Namun batasan sikap intoleran itu sering dikaitkan dengan sikap menolak paham pluralisme, anti LGBT, dan meyakini Islam sebagai ajaran yang benar.
Soal ujaran kebencian dan anti pemerintah cenderung subyektif dan politis, tapi sering dijadikan tudingan radikal. Pasalnya banyak ujaran kebencian terhadap Islam dan tokoh Islam tapi tak kunjung kena jerat hukum. Dengan ini, pemerintah menargetkan dua sasaran; mengeliminasi ajaran Islam di tengah rakyat, sekaligus meredam kritik terhadap ketidakbecusan pemerintah.
Bukan hanya itu, tapi pemerintah dan aparat menggerakkan masyarakat untuk melawan radikalisme hingga ke pedesaan. Hal ini berdampak pada konflik horizontal dan persekusi oleh warga terhadap kelompok warga yang lain, dengan alasan melawan radikalisme dan ujaran kebencian pada negara.
Melihat dari seluruh kebijakan kontra radikalisme, Indonesia sebenarnya mengikuti jejak negara-negara Barat menciptakan Islamfobia. Sejauh ini kebijakan yang masif disosialisasikan ke tengah publik baik lewat media massa atau langsung institusi pemerintah dan aparat keamanan, cukup berhasil.
Apa yang dilakukan saat ini, sesuai apa yang dipaparkan Departemen Pertahanan AS dalam Quadrennial Defense Review Report, Februari 2006, yang menyebutkan bahwa puncak kemenangan AS hanya bisa dicapai ketika ‘ideologi ekstrimis’ dapat dicitraburukkan di mata penduduk asli negeri tersebut dan para pendukungnya.
Barat begitu keras berusaha memadamkan Islam, karena mereka sadar hanya kekuatan Islam yang dapat meruntuhkan hegemoni mereka. Untuk itu, Barat melakukan proxy war terhadap Islam dan para pemeluknya dengan memanfaatkan internal umat Muslim sendiri. Mainkan narasi-narasi yang kemudian membuat sebagian muslim percaya bahwa agamanya sendiri adalah ancaman bagi mereka, sehingga harus direduksi hanya ajaran yang berurusan dengan hukum privat saja seperti ibadah dan akhlak, itupun tidak sepenuhnya. Karena umat Muslim juga diprovokasi untuk toleran pada kehidupan liberal seperti seks bebas, LGBT, ateisme, termasuk mentolerir sesama muslim yang tidak beribadah, dsb.
Maka apa yang dicemaskan Nabi SAW. bisa jadi akan terjadi. Sabdanya:
يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلاَ صَلاَةٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ وَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللهِ k فِـي لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِي اْلأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ: الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ؛ يَقُولُونَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا: فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ، وَلاَ صِيَامٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّدَهَا عَلَيْهِ ثَلاَثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: يَا صِلَةُ! تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ، ثَلاَثًا.
“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya hiasan pada pakaian sehingga tidak diketahui lagi apa itu puasa, tidak juga shalat, tidak juga haji, tidak juga shadaqah. Kitabullah akan diangkat pada malam hari hingga tidak tersisa di bumi satu ayat pun, yang tersisa hanyalah beberapa kelompok manusia: Kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka berkata, ‘Kami men-dapati nenek moyang kami (mengucapkan) kalimat ini, mereka mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah’, maka kami pun mengucapkannya. Lalu Shilah berkata kepadanya, “(Kalimat) Laa Ilaaha Illallaah tidak berguna bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, tidak juga puasa, tidak juga haji, dan tidak juga shadaqah. Lalu Hudzaifah berpaling darinya, kemudian beliau mengulang-ulangnya selama tiga kali. Setiap kali ditanyakan hal itu, Hudzaifah berpaling darinya, lalu pada ketiga kalinya Hudzaifah menghadap dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itu menyelamatkan mereka dari Neraka (sebanyak tiga kali).”(HR Ibnu Majah)
Sudah saatnya muslim yang sadar dan cinta pada agamanya bangkit melakukan perang opini, membela agama Allah. Menyadarkan sesama muslim bahwa hanya Islam yang dapat menyelamatkan negeri, dan hanya Islam satu-satunya ideologi yang dapat meruntuhkan hegemoni Barat yang telah merusak peradaban dunia.
Oleh: Iwan Januar