Tinta Media - Arteria Dahlan diputuskan oleh Polda Metro Jaya bebas dari pidana, karena pernyataan Arteria yang dianggap menyinggung Sunda tidak memenuhi unsur perbuatan menyebarkan informasi yang bermuatan ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Dan menurut Polda Metro Jaya, pernyataan Arteria disampaikan dalam situasi rapat resmi. Dan, kapasitas Arteria sebagai anggota DPR RI, dengan demikian ada hak imunitas yang dimiliki yang bersangkutan.
Perlakuan yang berbeda terjadi pada Bang Edy Mulyadi. Kasus nya langsung dipidanakan karena menurut polisi ujaran Bang Edy Mulyadi dimasukkan ujaran kebencian berdasarkan SARA. Padahal clear soal ungkapan "Jin buang anak" itu adalah kiasan untuk menunjukkan tempat yang jauh dan penghuninya belum banyak. Berdasarkan media tracking, banyak juga yang mengungkapkan hal serupa, tetapi tidak dipermasalahkan.
Wajar muncul dugaan bahwa pemidanaan Bang Edy Mulyadi cenderung memiliki motif politik daripada pidana murni. Patut diduga hal ini terkait sikap kritis dan tegas Bang Edy pada pemindahan ibu kota negara yang memiliki bau menyengat kepentingan oligarki dan asing.
Pertanyaan lanjutannya, apakah rakyat umum seperti Bang Edy Mulyadi boleh dipidanakan seenaknya karena tidak memiliki hak imunitas seperti anggota DPR? Dan apakah Arteria Dahlan boleh menghina Bahasa Sunda hanya karena dia memiliki hak imunitas sebagai anggota DPR? Ada rasa keadilan yang terkoyak di hati rakyat.
Kasus Arteria Dahlan dan Bang Edy Mulyadi sudah mencuat dimuka publik. Prosesnya pun diamati dan dicatat oleh publik. Hukum tebang pilih terasa menyengat. Pihak yang berada di kubu rezim penguasa selalu kebal hukum. Sementara pihak yang kritis pada rezim, dicari-cari salahnya dan dikriminalisasi.
Sejarah akan mencatatnya, dan insya Allah pasti akan tiba waktunya hari pembalasan di dunia maupun akhirat.
Oleh: Agung Wisnuwardana
Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM)