Tinta Media - Sebagaimana kita ketahui, Indonesia terkenal sebagai salah satu negara pengekspor sawit dunia terbesar, karena menyumbang 37,3 persen dari total pasar kelapa sawit dunia. Tentu fakta ini menjadi hal yang ironis, ketika di Indonesia saat ini harga minyak goreng justru masih melambung tinggi.
Selama ini, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng berada di kisaran Rp12.000 sampai Rp13.000 per liter. Kalaupun terjadi kenaikan harga, tidak akan jauh dari harga sebelumnya. Akan tetapi, yang terjadi justru meroket hingga Rp19.000. Harga dua liter minyak goreng biasanya di kaisaran Rp27.000--Rp29.000. akan tetapi, saat ini harganya menyentuh Rp40.000. Bisa dibayangkan, bagaimana kesulitan rakyat akibat kenaikan harga minyak goreng ini?
Di tengah pandemi yang masih belum tahu kapan akan berakhir, masalah tingginya harga minyak goreng tentu akan menambah beban rakyat, apalagi kondisi finansial efek dari pandemi pun masih dirasakan. Mereka harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk mengisi perut. Otomatis, bertambah pula pengeluaran biaya belanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.
Salah satu penyebab melambungnya harga minyak goreng adalah akibat sektor hulu, yakni meningkatnya harga crude palm oil (CPO), yang berpengaruh terhadap harga minyak goreng di pasaran.
Selain itu, menurut Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), adanya oknum yang melakukan penimbunan minyak goreng merupakan penyebab harga minyak goreng yang melambung tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan agar hal tersebut tidak terjadi dan tidak ada pihak yang bermain.
Dari beberapa alasan yang diungkapkan, sesungguhnya ada hal yang lebih mendasar terkait melambungnya harga minyak goreng ini, yaitu terkait pengelolaan SDA kelapa sawit di negeri ini.
Seperti kita ketahui bahwa pengelolaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh perusahaan-perusahaan swasta, baik dalam maupun luar negeri. Beberapa nama konglomerat besar Indonesia merupakan pemilik terbesar perkebunan kelapa sawit, seperti Anthony Salim dan Putra Sampoerna, juga beberapa nama konglomerat besar lainnya.
Ketika pengelolaan kelapa sawit diserahkan kepada swasta, maka orientasi bisnislah yang mendominasi produksi dari industri kelapa sawit tersebut. Mereka berperan sebagai produsen, masyarakat sebagai konsumen. Sedangkan negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator.
Hal inilah yang menjadikan distribusi produk kelapa sawit, salah satunya minyak goreng, tidak pasti akan sampai ke pasaran. Ini tergantung pada pihak produsen. Merekalah yang memutuskan, mana konsumen yang akan memberi keuntungan lebih dari produk yang dibuat, apakah konsumen dalam negeri atau konsumen luar negeri.
Faktanya, konsumen luar negeri menjadi pilihan yang menggiurkan, sehingga minyak goreng pun lebih banyak yang diekspor karena keuntungan yang akan didapatkan pun jauh lebih besar. Hal ini berakibat pada sedikitnya pasokan minyak goreng untuk dalam negeri.
Sistem kapitalisme liberalisme yang dipraktikkan di negeri ini, menjadikan negeri "Raja Sawit" ini sakit karena penguasanya tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya, sehingga menjadikan rakyatnya pun ikut sakit.
Sebagai SDA, lahan perkebunan kelapa sawit harusnya dikelola oleh negara, dengan asas sebagai kepemilikan umum. Di dalam Islam, kepemilikan umum merupakan harta milik rakyat yang dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Fungsi negara (Khilafah) adalah sebagai penanggung jawab urusan rakyat, sehingga harus menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dengan menjalankan sistem ekonomi Islam. Ada beberapa langkah yang yang harus negara lakukan dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat ini, yaitu:
Pertama, terkait produksi, negera akan menjaga pasokan dalam negeri.
Negara membuka akses lahan yang sama bagi semua rakyat untuk memaksimalkan produksi lahan, mendukung para petani melalui modal, edukasi, pelatihan, serta dukungan sarana produksi dan infrastruktur penunjang.
Kedua, terkait distribusi, negara akan menciptakan pasar yang sehat dan kondusif, mengawasi rantai tata niaga, dan menghilangkan penyebab distorsi pasar.
Ketiga, negara mengawasi agar penentuan harga mengikuti mekanisme pasar.
Selain itu, khilafah wajib menjalankan politik perdagangan luar negeri indenpenden (mandiri). Allah Swt. berfirman, yang artinya:
"Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu pada hari kiamat. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untk mengalahkan orang orang-orang beriman. " (QS An-Nisa':
Pelaksanaan politik luar negeri yang sesuai syariat Islam akan mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Maka dalam aktivitas perdagangan luar negeri, khilafah berlaku sebagai penentu serta pengatur pelaksanaan, baik dilakukan oleh individu maupun atas nama negara.
Aktivitas menjual komoditas ke luar negeri (ekspor), misalnya, hanya akan dilakukan jika kebutuhan di dalam negeri mencukupi. Hasil dari ekspor tersebut, jika berasal dari kepemilikan umum, maka akan dikembalikan kepada rakyat untuk kemaslahatan rakyat.
Oleh karena itu, telah jelaslah konsep Islam sebagai solusi satu-satunya untuk mengatasi persoalan kenaikan harga, khususnya harga minyak goreng. Wajib bagi kita semua sebagai muslim untuk mengambil solusi tersebut, dengan turut memperjuangkan tegaknya sistem Islam (khilafah) pada saat ini.
Wallahualam bishawab
Oleh: Amanahtya
Sahabat Tinta Media