Tinta Media - Pertamina sudah salah jalan, melakukan transisi energi dengan mencampur minyak sawit fame dengan solar atau solarisasi sawit. Alasannya sawit adalah energi terbaharukan. Bisa ditanam dan dipanen. Begitu?
Ini adalah jalan yang salah, sawit adalah biang kerok kerusakan hutan nomor satu. Penyebab utama deforestasi. Penyumbang utama emisi karbon Indonesia. Padahal presiden Jokowi sebagai salah satu pimpinan COP. 26 climate change berjanji pada dunia untuk menghentikan deforestasi atau penghancuran hutan.
Jalan salah solarisasi sawit ini tampaknya mengikuti agenda para bandar sawit besar. Sebagaimana diketahui bahwa sawit telah dihambat dalam pasar Eropa dan negara lainnya karena dipandang sebagai sebab kehancuran hutan tropis. Indonesia dan Malaysia adalah produsen terbesar.
Ini Eropa melalui duta besarnya baru baru ini mengatakan bahwa solarisasi sawit semacam yang dilakukan Indonesia bukan merupakan agenda transisi energi. Jadi dengan demikian solarisasi sawit akan membawa Indonesia pada kegagalan melakukan transisi energi dan melanjutkan kerusakan hutan di Indonesia.
Memang baru baru ini presiden Jokowi aktif dalam meresmikan pabrik produsen bahan baku B20, B30 dst yang berasal dari minyak sawit. Tampaknya presiden memiliki kedekatan politik dengan dengan pengusaha sektor sawit ini.
Namun program ini berakibat buruk bagi Pertamina. Pertamina dari sisi keuangan tersandera biaya mahal. Bayangkan saja Pertamina harus membeli 9-10 juta ton minyak sawit dalam bentuk fame untuk bahan baku pencampuran dolar. Jika harga beli Pertamina seharga pasar saat ini, maka nilai belinya mencapai Rp. 200 triliun. Dari mana uangnya Pertamina?
Bahaya lagi adalah Pertamina harus mengubah dan memodofikasi kilang kilang mereka untuk mencampur sawit dengan solar. Sebagian besar diolah di kilang Cilacap yang dalam tahun 2021 kemarin terbakar dan meledak dua kali dengan sangat menyeramkan.
Hal yang paling berbahaya adalah Pertamina berhadapan dengan rakyat bersaing merebut minyak goreng. Terjadi persaingan antara BBM kendaraan bermotor, dengan *BBT atau bahan bakar tenggorokan alias minyak goreng*. Akibatnya harga minyak goreng melambung tinggi. Siapa yang tanggung jawab?
Harga minyak goreng akan terus melambung tinggi. Mengapa? Pengusaha sawit akan mengejar pasar ekspor yang harganya saat ini sangat tinggi dan memilih pasar Pertamina yang pasarnya lebih pasti dari-pada pasar minyak goreng untuk masyarakat.
Jika Pertamina terus melanjutkan proyek solarisasi sawit, maka harga minyak goreng akan makin tidak terkendali. Bandar sawit memang panen raya, tapi Pertamina sudah pasti bangkrut, dan rakyat sudah pasti tercekik minyak goreng mahal.
Pertamina akan bangkrut karena harus membeli minyak sawit dengan harga pasar. Pertamina akan terus menimbun utang untuk memperkaya para bandar sawit. Harga beli minyak sawit dengan harga jual solar tak sebanding. Jadi *Pertamina jatuh bangkit, rakyat tertimpa tangga!* pie kangmas sinuhun?
Oleh: Salamuddin Daeng
Pengamat Ekonomi Politik
Referensi: kanalkopipahit.com