Direktur Pamong Institute: Penguasa Tak Boleh Sewenang-wenang dengan Kewenangan yang Dimiliki - Tinta Media

Rabu, 16 Februari 2022

Direktur Pamong Institute: Penguasa Tak Boleh Sewenang-wenang dengan Kewenangan yang Dimiliki

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1n1U5Pj7gHWQnJwTyzjnfXTi1ntHU3wLZ

Tinta Media -Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky mengingatkan, penguasa tak boleh sewenang-wenang dengan kewenangan yang dimiliki dalam menyikapi jeritan dan teriakan warga desa Wadas yang menolak penambangan batu andesit di desa tersebut.

“Tak boleh sewenang-wenang dengan kewenangan yang dimiliki,” tuturnya pada Tinta Media, Selasa (15/2/2022).

Wahyudi menyesalkan, aduan warga desa Wadas perihal penolakan mereka terkait penambangan yang akan dilakukan pemerintah di desa tersebut telah sampai ke istana, justru yang muncul  bukan perhatian dari istana,  tapi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD.

“Menurut Mahfud, tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan pemerintah. ‘Penolakan sebagian masyarakat tidak akan berpengaruh secara hukum, karena tidak ada pelanggaran hukum pada acara pembangunan atau penambangan batu andesit di Desa Wadas," jelas Wahyudi mengutip pernyataan Mahfudz.

Wahyudi juga mengutip pernyataan ketua IPW Sugeng Teguh Santosa yang menilai bahwa aparat bertindak represif. “Kejadian ini identik dengan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan aparat pada masa orde baru. Sejumlah personel dengan cukup banyak dikerahkan untuk menggusur rakyat yang tertindas,” kata Sugeng.

“Lalu bagaimana semestinya pemerintah menghadapi sikap penolakan warga? Apakah boleh memaksa dengan dalih untuk kepentingan proyek tertentu?” tanyanya.

Wahyudi membandingkan bagaimana sebuah proyek untuk kepentingan rakyat Mesir di masa dulu. Kala itu proyeknya menggusur tanah milik seorang Yahudi tua. Si Yahudi itu kemudian mengadukannya kepada Khalifah Umar.

Ia menuturkan kisahnya yakni sejak menjadi Gubernur Mesir, Amr ibn al-Ash menempati sebuah istana megah yang di depannya terhampar sebidang tanah kosong dan terdapat gubuk milik seorang Yahudi tua. Gubernur Mesir kala itu langsung di bawah kepemimpinan Khalifah Umar.

“Sang Gubernur pun memanggil si Yahudi pemilik tanah tersebut. Sang Gubernur menjelaskan rencananya, hendak membangun Proyek Sarana Umum (Masjid). Ia pun meminta Si Yahudi menjual tanah beserta gubuknya. Namun si Yahudi itu menolaknya. Ketika ditawarkan dengan bayaran tiga kali lipat, Yahudi itu tetap menolaknya,” kisahnya.

Sebagai Penguasa Mesir kala itu, lanjutnya, Sang Gubernur berdalih demi proyek pembangunan sarana umum (Masjid), Amr bin Ash pun tetap melanjutkan pembangunan. Amr bin Ash mengambil tanah tersebut dan membongkar gubuk Yahudi itu.  Si Yahudi pemilik tanah, tidak bisa berbuat banyak. Si Yahudi hanya menangis dan pergi ke Madinah untuk mengadukan Sang Gubernur Amr kepada atasannya, Khalifah Umar di Madinah.

“Setibanya di Madinah, si Yahudi itu menghadap Khalifah Umar. Sang Khalifah yang sangat egaliter dan Madani itu menerima si Yahudi di halaman Masjid Nabawi di bawah pohon kurma,” terangnya.

Wahyudi melanjutkan, mendengar pengaduan Si Yahudi yang tanahnya dirampas itu, Khalifah Umar marah besar. “Amr ibn al-Ash sangat keterlaluan!” katanya.

“Beliau kemudian menyuruh si Yahudi untuk mengambil sepotong tulang dari tempat sampah yang tak jauh dari tempat mereka. Tentu saja, si Yahudi menjadi bingung dengan perintah sang Khalifah yang tak ada hubungannya dengan pengaduannya,” tuturnya.

“Namun, dia pun mengambil tulang itu dan diserahkan kepada Sang Kalifah. Umar menggores huruf alif dari atas ke bawah, lalu memalang di tengah-tengahnya dengan ujung pedang pada tulang tersebut. Kemudian, tulang itu diserahkannya kepada si Yahudi yang masih bengong tak mengerti maksud Khalifah,” paparnya.

“Sang Khalifah hanya berpesan, ‘Bawalah tulang ini dan berikan kepada Gubernur Amr ibn al-Ash!’ Si Yahudi bingung dan bertanya, ‘Maaf Tuan, aku masih tidak mengerti. Aku datang ke sini untuk meminta keadilan, bukan tulang tak berharga ini,’ protes si Yahudi. Khalifah Umar tersenyum. Ia tidak marah lalu menegaskan, ‘Wahai orang yang menuntut keadilan, pada tulang itulah terletak keadilan yang engkau inginkan’,” lanjutnya.

Lalu, kata Wahyudi,  Si Yahudi itu pulang ke Mesir dan menyerahkan tulang pemberian Sang Khalifah itu kepada Sang Gubernur. Begitu Gubernur Amr menerima tulang itu, mendadak tubuhnya menggigil dan wajahnya pucat ketakutan. Si Yahudi itu bingung dibuatnya.

“Tiba-tiba Sang Gubernur membuat keputusan ajaib. Ia memerintahkan pada bawahannya untuk membongkar masjid yang ia bangun dan segera membangun kembali gubuk si Yahudi tersebut. Si Yahudi tambah bingung atas keputusan Gubernur itu. Ia pun minta agar masjidnya  jangan dulu bongkar. Lalu si Yahudi itu menanyakan, kenapa Sang Gubernur sangat ketakutan dan langsung menyuruh membongkar masjid itu, ketika menerima sepotong tulang dari Khalifah Umar,” tuturnya.

“Sang Gubernur menjelaskan bahwa tulang itu memang hanya tulang biasa. Namun, karena dikirimkan oleh Khalifah, tulang itu menjadi peringatan keras baginya,” imbuhnya.

“Ya, tulang itu berisi ancaman Khalifah. Seolah-olah beliau berkata, ‘Hai Amr ibn al-Ash! Ingatlah, siapa pun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab jika kamu tidak bertindak demikian pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!” paparnya

“Si Yahudi itu sangat terharu atas penjelasan gubernurnya. Dia sangat kagum atas sikap Khalifah yang tegas dan adil. Dia juga kagum atas sikap Gubernur yang patuh dan taat kepada Khalifahnya. Sungguh mulia dan mengagumkan. Akhirnya si Yahudi itu menyatakan memeluk Islam. Bahkan ia menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakaf. Tak perlu dibayar lima kali lipat bahkan diserahkan secara gratis. Indah bukan?” jelasnya.

Dari kisah di atas, Wahyudi menyampaikan pelajaran penting yang bisa diambil antara lain,

Pertama, tak boleh sewenang-wenang dengan kewenangan yang dimiliki. “Setinggi apa pun jabatan dan pangkat, kelak akan mati dan hanya menjadi tulang belulang. Bahkan sekedar masuk kubur pun masih perlu bantuan orang lain. Ketika dalam kubur pun masih perlu doa yang baik dari orang lain. Bagaimana jika yang datang itu doa keburukan dari orang-orang yang dizalimi?” paparnya.

Kedua, lanjut Wahyudi, Tiap hak dikembalikan kepada yang berhak. “Jangankan tanah milik warga desa, milik satu warga pun tetap harus dijaga haknya dan tak boleh dirampas. Belajarlah pada sikap Khalifah Umar dan Gubernur Amr bin Ash, yang memang hadir untuk melayani rakyat dengan tulus dan sangat takut kepada Allah jika tidak adil. Bukan sekedar pencitraan tapi zalim kepada rakyat,” ungkapnya.

Ketiga, rakyat akan mudah berpartisipasi bahkan menyumbangkan miliknya dengan murah hati karena keteladanan para pemimpinnya yang baik hati. “Sebagaimana kisah Si Yahudi yang akhirnya menyumbangkan tanahnya secara gratis karena keteladanan para pemimpin. Akankah sejarah berulang, seorang kepala negara mengirim sepenggal tulang pada gubernurnya?” lanjutnya.

“Tentu kita rindu pada para pemimpin yang tulus melayani rakyatnya. Menjaga dan membantu rakyatnya sebagaimana ia menjaga anak dan isterinya. Ia memberi tanpa minta diberi, bahkan sekedar minta dipublikasi,” harapnya.

“Semua dilakukan demi meraih ridha Illahi dan mendapatkan balasan diakhirat nanti. Itulah karakter orang yang cerdas,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :