Tinta Media - Direktur Pamong Insitute, Wahyudi al Maroky mengungkapkan bahwa negeri ini merindukan sosok pemimpin yang tulus melayani rakyatnya.
”Tentu kita rindu pada para pemimpin yang tulus melayani rakyatnya. Menjaga dan membantu rakyatnya sebagaimana ia menjaga anak dan isterinya. Ia memberi tanpa minta diberi, bahkan sekedar minta dipublikasi. Semua dilakukan demi meraih ridho Ilahi dan mendapatkan balasan diakhirat nanti. Itulah karakter orang yang cerdas,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (15/2/2022).
Menurutnya, hal ini sebagai solusi penguasa terkait penolakan warga Wadas terhadap proyek penambangan batu andesit yang dianggap sewenang-wenang terhadap rakyat.
Wahyudi membandingkan kepemimpinan di masa Khalifah Umar bin Khattab dengan zaman now.
"Kita mencoba membandingkan bagaimana sebuah proyek untuk kepentingan rakyat Mesir di masa dulu. Kala itu proyeknya menggusur tanah milik seorang Yahudi tua. Si Yahudi itu kemudian mengadukan kepada Khalifah Umar. Bagaimanakah respon Khalifah Umar? Apakah menyatakan sudah sesuai prosedur dan tidak ada pelanggaran hukum?"tanya alumni STPDN 1992, angkatan 04 tersebut.
Ia pun menjelaskan bahwa Gubernur Mesir kala itu langsung di bawah kepemimpinan Khalifah Umar. Jika disetarakan posisinya mirip dengan para Sultan di Nusantara sebagai penguasa wilayah kala itu. Sementara saat ini Mesir dipimpin oleh presiden.
"Singkat cerita, Sang Gubernur pun memanggil si Yahudi pemilik tanah tersebut. Sang Gubernur menjelaskan rencananya, hendak membangun Proyek Sarana Umum (Masjid). Ia pun meminta Si Yahudi menjual tanah beserta gubuknya. Namun si Yahudi itu menolaknya. Ketika ditawarkan dengan bayaran tiga kali lipat, Yahudi itu tetap menolaknya,” lanjutnya mengutip kisah dalam buku 'The Great of Two Umars'.
Wahyudi menceritakan bagaimana Sang Gubernur berdalih demi proyek pembangunan sarana umum (Masjid), Sang Gubernur pun tetap melanjutkan pembangunan. Sang Gubernur mengambil tanah tersebut dan membongkar gubuk Yahudi itu. Si Yahudi pemilik tanah, tidak bisa berbuat banyak. Si Yahudi hanya menangis dan pergi ke Madinah untuk mengadukan Sang Gubernur Amr kepada atasannya, Khalifah Umar di Madinah.
"Bawalah tulang ini dan berikan kepada Gubernur Amr ibn al-Ash!”kata Umar kepada Si Yahudi bingung dan bertanya, “Maaf Tuan, aku masih tidak mengerti. Si Yahudi pun protes bahwa dia datang ke sini untuk meminta keadilan, bukan mencari tulang tak berharga ini,” tutur Wahyudi.
Alumni IIP Jakarta angkatan 09 ini pun menceritakan bagaimana tiba-tiba Sang Gubernur membuat keputusan ajaib. “Ia memerintahkan pada bawahannya untuk membongkar masjid yang ia bangun dan segera membangun kembali gubuk si Yahudi tersebut. Si Yahudi tambah bingung atas keputusan Gubernur itu. Ia pun minta agar masjidnya jangan dulu dibongkar. Lalu si Yahudi itu menanyakan, kenapa Sang Gubernur sangat ketakutan dan langsung menyuruh membongkar masjid itu, ketika menerima sepotong tulang dari Khalifah Umar,” ujar Wahyudi.
“Ya, tulang itu berisi ancaman Khalifah. Seolah-olah beliau berkata, ‘Hai Amr ibn al-Ash! Ingatlah, siapa pun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab jika kamu tidak bertindak demikian pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!” lanjutnya bercerita.
Wahyudi pun menuturkan bahwa Si Yahudi itu sangat terharu atas penjelasan Gubernurnya. Dia sangat kagum atas sikap Khalifah yang tegas dan adil. Dia juga kagum atas sikap Gubernur yang patuh dan taat kepada Khalifahnya. Sungguh mulia dan mengagumkan.
"Akhirnya si Yahudi itu menyatakan memeluk Islam. Bahkan ia menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakaf. Tak perlu dibayar lima kali lipat bahkan diserahkan secara gratis. Indah bukan?" pungkas Wahyudi.[] Nita Savitri