Tinta Media - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali dipersoalkan, setelah viral ceramah tentang menutup aib suami yang disampaikan oleh seorang ustazah terkenal dari kalangan selebritis. Ceramah yang sebenarnya disampaikan dua atau tiga tahun yang lalu, dimunculkan kembali ke tengah-tengah publik oleh pihak tertentu yang kontennya dinilai menormalisasi KDRT. Usai mendapat banyak kecaman, akhirnya ustazah tersebut pun meminta maaf dan menyatakan bahwa beliau pun menolak KDRT.
Salah satu kritik datang dari Komnas perempuan yang menyesalkan ceramah yang berisi anjuran untuk tidak menceritakan kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan yang menimpa seorang istri atau yang dialami perempuan kepada orang tuanya.
Di Indonesia, konsep KDRT ini berhasil masuk dalam perundang-undangan, yaitu UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Walaupun UU ini sudah ada, tetapi kasus KDRT ini masih banyak terjadi di tiap lapisan masyarakat yang notabene jauh dari agama dalam kehidupannya.
Kemen PPPA telah mencatat bahwa kekerasan tertinggi sebanyak 7.191 kasus. Alih-alih bisa menyelesaikan masalah, UU tersebut justru melahirkan masalah baru. Permasalahan dalam rumah tangga akhirnya justru menjadi konsumsi umum. Masyarakat luas bisa menikmati apa pun yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga orang lain, karena pelaku atau korban mengumbar masalah yang sedang mereka hadapi di sosial media.
Dalam beberapa kasus, banyak istri yang melaporkan suaminya kepada pihak berwajib dan berakhir dengan pemenjaraan suami. Ketika suami dipenjara, otomatis tatanan dalam keluarga akan mengalami peralihan fungsi.
Tidak adanya suami sebagai pencari nafkah, menjadikan sang istri akhirnya berperan menggantikan tugas suami sebagai pencari nafkah. Mereka terpaksa mengabaikan pengasuhan dan pendidikan anak-anak. Anak-anak pun terlantar dan akhirnya timbulah berbagai masalah baru, mulai dari anak yang kekurangan perhatian dan kasih sayang, sampai anak yang terbawa pergaulan bebas yang kebablasan, karena tidak adanya pendampingan dari orang tua.
Viralnya ceramah ustazah ini dijadikan kesempatan oleh mereka yang memang tidak menyukai ajaran agama Islam untuk menyudutkan syariat Islam itu sendiri. Hujatan yang terus bersahutan telah menjadi amunisi mereka yang semakin berani menyudutkan ajaran agama Islam, seolah Islam telah membenarkan tindakan KDRT. Situasi ini mereka jadikan kesempatan untuk memopulerkan ide-ide yang mereka usung, yakni kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan.
Kaum feminis dengan kesetaraan gendernya memandang bahwa akar dari KDRT ini adalah adanya perbedaan kedudukan antara laki- laki dan perempuan yang diatur dalam ajaran agama Islam. Posisi laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan dipandang menjadikan perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki. Hal ini membuat kedudukan perempuan itu lemah sehingga mudah menjadi korban kekerasan kaki-laki.
Tentu saja cara berpikir seperti ini adalah salah. Kaum muslimim seharusnya memahami akar masalah dari KDRT ini. Kondisi masyarakat yang jauh dari agama (sekuler) dan sangat mengagungkan kebebasan (liberal), telah menjadi penyebab atas segala kekacauan ini. Masyarakat tidak memahami syariat Islam sehingga menyelesaikan masalah menurut hawa nafsunya saja, termasuk masalah KDRT ini.
Padahal, masalah kekerasan bukan semata-mata karena kepemimpinan suami, tetapi karena tidak adanya ketakwaan pada individu suami-istri tersebut sehingga tidak menjadikan syariat Islam sebagai pijakan dalam mengatur hubungan di antara mereka.
Islam sebagai Dien yang sempurna, mempunyai cara pandang yang khas terkait kehidupan berumah tangga, sekaligus solusi terhadap berbagai masalah yang terjadi.
Dalam Islam, hubungan suami istri adalah hubungan persahabatan. Hubungan ini sarat dengan kasih sayang, ketenangan, dan ketentraman, bukan hubungan yang ingin saling menguasai satu dari yang lain. Dalam hubungan itu, tidak dibenarkan satu pihak dianggap lemah dan yang lainnya dianggap kuat.
Syariat Islam mengatur hak istri atas suami dan hak suami atas istri, sekaligus menjadi tanggung jawab dari masing-masing di antara keduanya. Allah juga memerintahkan seorang istri agar taat kepada suaminya, dan suami harus bersikap ramah dan toleran, serta lembut ketika meminta sesuatu dari istrinya.
Suami juga tidak boleh terlalu memaksakan keinginannya tanpa melihat keadaan si istri.
Dalam kehidupan suami istri, sudah menjadi hal yang wajar ketika terjadi masalah yang membuat suasana tidak baik. Namun, penyelesaiannya tidak boleh mengikuti kehendaknya sendiri, tetapi disesuaikan dengan aturan Allah Swt.
Misalnya, ketika seorang istri membangkang (nusyuz), Allah telah memberikan hak pada suami untuk mendidik istrinya. Allah Swt. berfirman:
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya." (QS An-Nisa [4]:4).
Pukulan yang dimaksud adalah pukulan ringan yaitu pukulan yang tidak membahayakan (menyakitkan). Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
"Jika mereka melakukan tindakan tersebut (yakni nusyuz) maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (menyakitkan).
Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa menurut syariat Islam, ada tindakan fisik yang boleh suami lakukan ketika istri nusyuz. Hanya saja, syariat Islam memberikan batasan yang sangat ketat tentang hal itu.
Namun, hal ini mereka salah artikan, seakan-akan pemukulan terhadap istri ini adalah ajaran dari agama Islam. Demikian juga dengan istri, harus pandai-pandai menutupi aib suami. Jika ada ketidaksempurnaan pada seorang suami, seperti kurang beradab, kurang romantis, malas beribadah, maka seorang istri tidak boleh mengumbarnya pada orang lain, apalagi di media sosial yang menjadi konsumsi publik.
Seorang istri harus bisa menjaga kehormatan diri dan suaminya. Itu merupakan ciri-ciri dari perempuan yang salihah. Bukan berarti perempuan ini harus diam saja ketika di dalam rumah tangga terjadi kekerasan. Seorang istri bisa mengadukan kekerasan yang dialaminya hanya untuk mendapatkan solusi yang baik, karena di dalam Islam, tidak ada yang disebut dengan KDRT.
Semua itu bisa terwujud dalam kehidupan keluarga yang dilandaskan pada ketakwaan dan penerapan Islam di tengah-tengah masyarakat secara kaffah oleh sebuah negara. Negara tersebut akan menghadirkan masyarakat yang saling peduli dalam bentuk amar makruf nahi mungkar, demi menjaga terwujudnya kehidupan Islam.
Penerapan Islam kaffahlah yang akan mewujudkan masyarakat sejahtera, aman, damai, serta menciptakan lingkungan yang sangat kondusif bagi terwujudnya keluarga-keluarga muslim yang taat syariat.
Ketika terjadi pelanggaran syariat Islam, seperti tindakan kekerasan suami yang mengancam keselamatan istri, atau sebaliknya tindakan istri yang melanggar syariat, maka Islam menetapkannya sebagai tindak kejahatan (jarimah). Negara akan menerapkan sistem sanksi Islam untuk menghukum para pelakunya, dengan hukuman yang tegas sesuai ketetapan Islam. Sanksi tersebut akan membuat jera bagi pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang serupa.
Wallahu'alam bishshawab
Oleh: Imas Cucun
Sahabat Tinta Media